Rocky Gerung Dipolisikan, Aktivis: Gejala Orde Baru di Pemerintahan Jokowi

Rocky Gerung Dipolisikan, Aktivis: Gejala Orde Baru di Pemerintahan Jokowi

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Aktivis HAM dan demokrasi, Asfinawati, menilai gejala 'Orde Baru' terlihat pada pemerintahan Presiden Joko Widodo menyusul pelaporan Rocky Gerung ke polisi yang dilayangkan organisasi relawan Jokowi hingga Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan terkait pernyataannya yang dianggap menghina presiden. 

Mereka mengadukan akademisi UI itu ke Bareskrim Polri dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan kelompok tertentu berdasarkan SARA. 

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan ucapan Rocky Gerung yang menyebut Presiden Jokowi baj**gan tolol tidak bisa dikatakan sebagai kritik. 

"Sudah seharusnya dia diberikan 'pelajaran' atas nama rakyat atau negara," ujar Ngabalin kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/08).

Menanggapi laporan ini, Rocky Gerung menyebut hal itu sah-sah saja karena hak konstitusional warga negara. 

Siapa saja yang melaporkan Rocky Gerung?

Sejak video Rocky Gerung yang mengkritik kebijakan Presiden Jokowi terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur viral di media sosial, setidaknya ada lima laporan yang masuk ke kepolisian. 

Pertama diajukan relawan Jokowi yang menamakan diri Relawan Indonesia Bersatu. Ketua umumnya, Lisman Hasibuan, berkata pihaknya melaporkan Rocky Gerung dan Refly Harun karena disebut akademisi UI ini telah membuat gaduh dan keresahan jelang Pemilu 2024. 

Ia menyebut pernyataan Rocky Gerung yang menyebut Presiden Jokowi bajingan berbahaya sehingga harus dipertanggung jawabkan, katanya seperti dilansir CNN Indonesia.com.

Kepada Polda Metro Jaya, dia turut menyerahkan barang bukti berupa satu diska lepas yang berisi dua video.
Laporan berikutnya berasal dari politikus PDI Perjuangan, Ferdinand Hutahaean, ke Polda Metro Jaya pada Selasa (01/08) atas dugaan penghinaan terhadap Presiden Jokowi. 

Ketiga datang dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP ke Bareskrim Polri pada Rabu (02/08). 

Tim Hukum DPP PDIP, Johannes Oberlin Tobing, mengatakan langkah ini ditempuh karena Rocky Gerung dianggap sudah melakukan tindak pidana fitnah dan ujaran kebencian bermuatan SARA terhadap Presiden Jokowi. 

Setidaknya ada tiga hal yang dipermasalahkan Tim Hukum DPP atas perkataan pendiri Partai SRI tersebut. Satu di antaranya adalah narasi soal Presiden Jokowi ke China untuk 'menawarkan' IKN.

"Ini dalam tendensi menawarkan, menawarkan ini kapasitas Bapak Presiden berkunjung ke sana dalam tugas negara," ujarnya.

Pelapor keempat berasal dari advokat David Tobing yang menggugat Rocky Gerung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

Menurut dia, perkataan Rocky Gerung yang menyebut Presiden Jokowi sebagai baji**an tolol, tidak hanya merusak harkat dan martabat Presiden tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.

Selain itu, klaim David, mencederai citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah tamah, menjunjung tinggi nilai budaya, kesopanan, dan kesusilaan. 

Di dalam gugatannya dia meminta hakim untuk "menghukum Rocky Gerung untuk tidak berbicara di berbagai acara baik onsite maupun online seumur hidup".

Terakhir, laporan dari organisasi sayap PDIP, Relawan Perjuangan Demokrasi atau Repdem.

Pasal apa yang digunakan?

Semua laporan terhadap Rocky Gerung itu menggunakan pasal Pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. 

Lalu, Pasal 156 KUHP dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)"

Pasal 156KUHP berbunyi: "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal 160 KUHP berbunyi: "Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan mau menurut peraturan undang undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda."

Tapi tak cuma langkah hukum yang ditempuh para relawan, politisi, dan partai PDIP. Relawan Jokowi lainnya, Barikade 98, menyebut bakal mengerahkan 10.000 relawan untuk menggelar aksi demonstrasi pada 10 Agustus mendatang.

Tujuannya menuntut Rocky Gerung ditangkap. 

"Yang dilakukan Rocky Gerung ini memantik kegaduhan. Sekarang mana yang waras? Kami menyikap Rocky Gerung dengan proses hukum daripada cara barbar, geruduk, kekerasan," ujar Ketua Barikade 98, Fahmi Ramdhani. 

"Untuk kali ini Rocky Gerung kena batunya. Saya yakin dia akan diproses hukum," sambungnya. 

Membungkam pengkritik 'gejala Orde Baru' 

Aktivis HAM dan demokrasi, Asfinawati, menyebut pasal yang dipakai untuk menjerat Rocky Gerung "ngaco" karena sengaja 'dicari-cari' demi bisa memenjarakan pengkritik.

Sebab pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian, implementasinya seringkali bermasalah karena muatannya yang multitafsir. 

Dalam beberapa kasus yang berjalan di kepolisian, pasal ini justru menjadi alat kriminalisasi untuk menindak warga yang bersikap berseberangan atau melontarkan kritikan ke pejabat. 

Catatan Amnesty, sejak Januari 2019 hingga Mei 2022 terdapat setidaknya 332 orang menjadi korban penyalahgunaan pasal bermasalah di UU ITE. 

LSM SAFEnet juga mencatat sepanjang 2013-2022 setidaknya ada 500 orang yang dilaporkan menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE. 

Mayoritas pelapor adalah pejabat publik dan pihak yang merasa mewakili institusi atau organisasi.

"Kritik itu enggak ada pasalnya. Makanya 'dicari' sehingga muncul pasal-pasal aneh kayak 28 ayat 2 UU ITE. Pasal itu kan sering sekali dipakai untuk segala kasus mulai dari penodaan agama sampai menyasar orang-orang biasa."

Belum lagi data Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan pada 2022. 

Ini terlihat dari skor Indeks Demokrasi Indonesia yang sebesar 6,71 poin pada tahun lalu.
 
Skor itu tidak berubah dari tahun 2021. Posisi Indonesia pun harus turun ke peringkat 54 di dunia.

Kalau merujuk data itu, kata Asfinawati, gejala 'Orde Baru' sesungguhnya terlihat di pemerintahan Jokowi meski dengan cara yang berbeda. 

"Ini ciri-ciri Orde Baru terlihat. Meskipun memang tensinya belum separah Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun."

"Tapi gejalanya sama, terjadi pembungkaman kebebasan berpendapat dengan derajat yang berbeda."
"Kalau dulu di era Orde Baru orang yang mengkritik bisa diculik, dihilangkan. Sekarang orang-orang yang berdemonstrasi ditangkapi, dipukuli, dihalangi bertemu penasihat hukum."

Dan yang bikin memprihatinkan, sambung Asfinawati, kondisi kebebasan berpendapat di masa sekarang "parah" lantaran terjadi di era sesudah reformasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. 

Pengamatannya selain pasal 28 ayat 2 UU ITE, peraturan lain yang juga kerap dipakai untuk menjerat pengkritik pemerintah adalah pasal 156 KUHP tentang orang yang menyatakan permusuhan atau penghinaan terhadap suatu atau golongan di muka umum. 

Apa tanggapan Istana?

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan ucapan Rocky Gerung yang menyebut Presiden Jokowi baji**an tolol tidak bisa dikatakan sebagai kritik. 

Tata cara berpendapat, katanya, diatur dalam UU dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 --yang melarang demonstrasi dengan cara menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. 

Kemudian larangan mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Kalau berkaca pada aturan itu, klaim Ngabalin, apa yang disampaikan Rocky Gerung menerabas ketentuan-ketentuan tersebut.

"Bagaimana Rocky dengan seenaknya menggunakan kata bajingan tolol sebagai kritik? Sekolah dimana dia?"

"Tidak ada orang berpengetahuan tinggi tapi tidak menggunakan hati dalam menyampaikan pikiran dan pendapatnya. Manusia apa itu?"

"Sudah seharusnya dia diberikan 'pelajaran' atas nama rakyat atau negara."

Ngabalin juga berkata, laporan sejumlah relawan ke kepolisian tidak bisa dihentikan karena itu adalah hak konstitusional setiap orang. 

Yang pasti, sambungnya, pelaporan ini jauh dari apa yang disebut 'gejala Orde Baru'.

"Kalau zaman Orde Baru, Rocky apa masih ada? Hitungan detik sudah lewat dia."

"Dulu Pak Jokowi bilang tidak semua kalangan elit atau orang tertentu bisa menerima dia sebagai presiden. Kalau presiden menganggap pernyataan Rocky hal kecil, tapi bagi kami di sekitarnya bukan hal kecil. Harus disikapi secara serius."

Jokowi harus perintahkan relawannya cabut laporan

Asfinawati mengaku menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang mendiamkan relawan maupun partainya melaporkan Rocky Gerung. 

Karena bagaimanapun tindakan relawan mencerminkan 'wajah' Preisden. 

Kalau merujuk ke banyak negara, kata dia, hampir tidak pernah ada laporan pasal penodaan atau ujaran kebencian terhadap kepala negara meskipun mereka memiliki pasal tersebut lantaran kebebasan berpendapat adalah hak warga negara. 

Baginya, kalau Presiden Jokowi mendiam kasus Rocky Gerung terus berjalan hingga ke pengadilan publik akan melihat pemerintahan Jokowi anti-kritik. 

"Karena hampir sepuluh tahun terjadi terus hal seperti ini, jadi jangan-jangan ini maunya Presiden."

Polisi mulai selidiki laporan

Direktur Reserse Kriminal Khusus, Polda Metro Jaya, Komisaris Ade Safri Simanjuntak, mengatakan pihaknya menerima laporan terhadap Rocky Gerung karena pasal yang diadukan merupakan delik biasa, bukan delik aduan. 

Laporan yang dimaksud yakni dari Relawan Indonesia Bersatu dan Ferdinand Hutahaean. 
ami laporan, termasuk menggandeng ahli untuk mencari tahu unsur pidana dalam laporan ini.

"Saat ini tim penyelidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya sedang melakukan serangkaian kegiatan penyelidikan atas dua laporan polisi tersebut, terkait dugaan terjadi tindak pidana dimaksud, mulai dari melakukan klarifikasi kepada para pelapor, para saksi, koordinasi efektif dengan para ahli," jelasnya.

Sumber: kumparan
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita