PDIP Merasa Ditinggal Sendirian Oleh Partai Pendukung Pemerintah

PDIP Merasa Ditinggal Sendirian Oleh Partai Pendukung Pemerintah

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, Puan Maharani merasa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dikhianati partai-partai politik pendukung pemerintahan Jokowi jelang pemilihan umum (pemilu) 2024.

“Frasa pengkhianatan itu bisa dibaca secara politik dalam pidato Puan saat apel siaga pemenangan PDIP dalam Pemilu 2024 di Semarang. Puan mengatakan ada perlawanan besar, kawan jadi lawan (politik),” kata Selamat Ginting di Jakarta,  Minggu (27/8/2023).

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Puan Maharani menyebutkan, ada tantangan besar menuju Pilpres 2024 yang dihadapi partainya.

"Ada tantangan besar, ada perlawanan besar. Kawan jadi lawan (politik), banyak pihak yang ingin melihat kita pecah, ingin melihat kita lemah," jelas Puan saat menghadiri acara Apel Siaga Pemenangan Pemilu 2024 di Stadion Jatidiri Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/8/2023).

Menurut Selamat Ginting, PDIP kini merasa ditinggalkan sendirian oleh partai-partai politik pendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Terutama setelah Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Amanat Nasional (PAN) batal bergabung dalam koalisi bersama PDIP.

Kedua partai tersebut bergabung dengan koalisi bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres). Poros Prabowo ini menjadi lebih dominan daripada koalisi PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo yang juga mendukung pemerintahan Jokowi.

“Saya menduga pidato Puan menyindir koalisi partai yang bergabung mendukung Prabowo dari Partai Gerindra. Batalnya Golkar dan PAN bergabung dalam koalisi bersama PDIP, serta ancaman PPP untuk tinggalkan koalisi bersama PDIP. Itulah yang dimaksud kawan jadi lawan politik. Sama saja PDIP merasa dikhianati,” ujar Ginting.

Ambivalensi Jokowi

Dikemukakan, dengan komposisi berdasarkan jumlah suara hasil pemilu 2019, maka poros pendukung Prabowo yang terdiri dari Gerindra, PKB, PAN, dan Golkar mencapai sekitar 41,50 persen (265 kursi).

Sementara poros pendukung Ganjar yang terdiri dari PDIP dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya sebesar 23,85 persen (147 kursi).

“Dengan komposisi itu, maka jangan salahkan jika publik menerjemahkan poros Prabowo sebagai representasi politik pro-status quo pendukung pemerintahan Jokowi. Sementara poros pendukung Ganjar justru tidak diasosiasikan seperti itu,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.

Hal ini, lanjut Ginting, antara lain akibat ambivalensi perilaku politik Jokowi terhadap Prabowo maupun Ganjar. Ibaratnya Jokowi menaruh telur di dua keranjang dengan komposisi dua pertiga untuk Prabowo dan sepertiga untuk Ganjar.

Politik dua muka ini dibaca secara politik untuk mengamankan diri dan keluarganya kelak setelah Jokowi lengser dari kursi kepresidenan.

“Instrumen politiknya bisa dilihat bukan hanya karena empat partai koalisi pemerintah yang mendukung Prabowo. Di sisi lain, relawan garis keras pendukung Jokowi juga berbalik arah dari semula mendukung Ganjar, kini mendukung Prabowo. Bahkan ketua umum relawan Projo Budi Arie Setiadi diberikan tempat istimewa sebagai Menkominfo,” kata Ginting yang lama menjadi wartawan senior bidang politik.

Lemahnya Soliditas

Ginting mengemukakan lemahnya soliditas di dalam tubuh PDIP menjadi salah satu faktor konflik politik di kandang banteng. Pada 2022 muncul istilah dewan kolonel yang mendukung Puan Maharani melawan dewan kopral yang mendukung Ganjar Pranowo.

Dewan kolonel yang dicetuskan Johan Budi, dipimpin oleh Trimedya Panjaitan. Diisi oleh para anggota DPR dari PDIP yang mewakili 11 komisi dan disetujui Puan Maharani.

“Dewan kolonel menolak Ganjar, karena dianggap tidak layak naik kelas dari Gubernur Jawa Tengah menjadi Presiden RI. Belakangan dewan kopral yang dipimpin Immanuel Ebenezer justru membelot tidak lagi mendukung Ganjar, mereka malah mendukung Prabowo,” ungkap Ginting.

Selain itu, lanjut Ginting, penetrasi politik penolakan terhadap Ganjar juga semakin dalam terjadi di kandang banteng. Antara lain dari kader senior Effendi Simbolon yang menyatakan dukungan secara implisit terhadap Prabowo.

Begitu juga dengan Budiman Sujatmiko, secara eksplisit mendukung Prabowo. Efeknya, Budiman dipecat dari PDIP. Terakhir Rifqinizamy Karsayuda mengundurkan diri dari statusnya sebagai kader dan anggota DPR RI dari PDIP pada Kamis (24/8/2023).

“Faktor Jokowi efek membuat PDIP didera gempa politik dengan skala richter yang mengguncang kandang banteng. Apel di Semarang yang dipimpin Puan bagaikan orang nervous (grogi) politik dan mengharapkan Jokowi lebih berpihak kepada Ganjar daripada kepada Prabowo,” tutup Ginting.

Sangat Aneh

Hal berbeda dikatakan Aminudin, peneliti senior dari Institute for Strategic and Development (ISDS). Menurutnya, selama ini partai pendukung pemerintah yang utama adalah PDIP.

Oleh karena itu sangat aneh jika Puan menuding PDIP menjadi pengkhianat.

“Berkhianat pada siapa? Rakyat pemilihnya atau pada siapa?” tanyanya.

Aminudin menuturkan, tetapi jika tudingan pengkhianat itu ditujukan Dinasti Megawati atau PDIP pada Jokowi maka bisa dilihat dari banyak fakta.

Kala itu ketika Megawati mengusung Jokowi menjadi presiden 2014 dengan anggapan hanya Megawati yang menjadi majikan Jokowi seperti pernyataan berulang Megawati bahwa Jokowi hanyalah seorang petugas partai atau kaki tangan Megawati.

Bahkan, sambung Aminudin, pada kongres PDIP di Bali Jokowi dan kaki tangannya diduga berusaha menggusur Megawati dari kursi ketua umum DPP PDIP. Tapi gagal.

Bahkan Jokowi sebagai Presiden sama sekali tidak diberi kesempatan memberikan sambutan umumnya dalam standar protokoler nasional di setiap event di mana presiden harus diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan.

Sumber: harianterbit
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita