OLEH: ADY AMAR*
RG menganut paham, bahwa pikiran boleh keras ketus tanpa batas disampaikan sebagai sebuah argumen. Tapi tidak pada sikap, yang menurutnya mesti lembut sopan selayaknya. Maka, kebebasan berpikir tidak boleh dihalangi sekat menyumpal.
Rocky Gerung (RG) dan Rizal Ramli (RR), itu bagai simbol negeri yang masih menganut demokrasi. Atau dengan narasi lain, bahwa negeri ini boleh dibilang masih menganut asas demokrasi, itu disimbolkan dengan RG dan RR yang masih bebas berbicara, dan aman-aman saja.
Adagium simbol demokrasi itu disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD, yang saat ditanya matinya demokrasi di negeri ini. Itu saat Habib Rizieq Shihab dipenjarakan dalam kasus kekarantinaan kesehatan dan menyebarkan berita bohong--dua kasus yang beririsan berkenaan dengan Covid-19--di mana Mahfud menyatakan, demokrasi di negeri ini masih tegak.
Mahfud perlu mengambil sebagai contoh, bahwa RG dan RR boleh ngomong keras mengkritik pemerintah, dan itu bebas-bebas saja. Tidak ditangkap, kata Mahfud.
Dua nama yang disebutnya itu seolah simbol demokrasi di negeri ini, yang masih berdiri tegak. Karenanya, dua orang tadi seolah boleh bicara apa saja, bebas-bebas saja dalam mengkritik rezim sekerasnya.
Sepertinya apa yang dikatakan Mahfud itu menemui kebenaran. Tapi juga bukan soal "kebebasan" yang diberikan pada keduanya itu juga berlaku pada lainnya, mereka yang memilih jalan hidup oposan bebas berbicara sebagaimana RG dan RR.
Di samping itu, RG dan RR masih bebas tak tersentuh hukum, itu lebih pada bangunan narasi yang terukur, dan jauh dari delik hukum yang bisa ditersangkakan.
RG khususnya, entah sudah berapa kali dilaporkan pada pihak kepolisian, dan diperiksa sebagai saksi. Setelah itu kasusnya menguap tak diteruskan. Seolah penyidik kebingungan apa yang mau dibidik dari pikiran seseorang yang berbicara tanpa meninggalkan jejak delik yang bisa dipidanakan.
RG berselancar dalam kata-kata penuh idiom, dan sejauh ini tak ada delik dilanggarnya, yang itu bisa menjeratnya dalam kasus hukum. Misal, saat kata "dungu" ia sematkan pada Presiden Jokowi, dan pada pejabat negara lain yang beradu argumen dengannya.
Dungu yang disematkan, itu bukan pada personal Jokowi sebagai pribadi, tapi pada kebijakan yang diambil Jokowi selaku presiden. Itu risiko dari pejabat publik yang jika salah boleh dikritisi dengan kata "dungu", atau bahkan lebih keras lagi sekalipun.
Pilihan kata dan kalimat yang dipilih RG memang mencengangkan, bahkan acap ngeri-ngeri sedap. Seperti kebablasan untuk ukuran umum, tapi tetap saja terukur tanpa sedikit pun ada delik hukum ditinggalkan. Pilihan idiom yang tidak biasa, itu semacam pesan tegas, agar semua melihatnya sebagai ancaman serius, yang tidak boleh lengah untuk dibiarkan.
RG menganut paham, bahwa pikiran keras ketus tanpa batas boleh disampaikan sebagai sebuah argumen. Tapi tidak pada sikap, yang menurutnya mesti lembut sopan selayaknya. Maka, kebebasan berpikir tidak boleh dihalangi sekat menyumpal. Memisahkan antara alam pikiran dan sikap, itu bukan perkara mudah.
Tapi tidak bagi seorang RG. Bebas berpikir dan santun bersikap, sepertinya itulah kepribadian yang dipilihnya. Jika tak mengenal keseharian RG, dan hanya mendengar sekadar orasinya maka terkesan ia pribadi keras yang tampil dengan kritikan pedas.
Memilih posisi sebagai oposan, maka memunculkan sikap kritis yang terkadang dengan penggunaan idiom lewat kata yang terkadang kelewat berani. Kata atau kalimat yang tidak biasa itu mampu menjelaskan kesalahan kebijakan dari pejabat yang dikritiknya. Kata "dungu" menjadi populer untuk melihat kebijakan yang jauh dari maslahat, bahkan merusak, utamanya yang dilakukan rezim Jokowi.
Seiring waktu, kata "dungu" sudah tidak lagi mencengangkan jika itu diucap RG dalam mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi. Daya gregetnya sudah mulai luntur, seolah "dungu" sudah bisa diterima selayaknya secara umum.
RG seperti mengajarkan pada khalayak untuk tidak memberi label istimewa pada kekuasaan mana pun di tingkat apa pun. Menurutnya, justru perlu mengkritisinya dengan kata atau kalimat tak biasa.
Ujaran khas RG yang tak biasa itu bisa jadi akan sulit bisa ditiru pihak lain, tapi setidaknya RG mampu mengucapkan sebagai penekan, bahwa ada yang tak beres yang dilakukan rezim. Maka, kata atau kalimat tidak biasa dipilihnya untuk menggambarkan itu semua. Jadi biarkan saja RG bicara tidak biasa, itu haknya yang tak bisa dibatasi oleh pelaporan pada pihak berwajib atas perbuatan tidak menyenangkan atau apa pun namanya.
Hari-hari ini jagat pemberitaan diramaikan tamparan kegeraman RG pada Presiden Jokowi. Kegeraman ditumpahkan saat memberi orasi di hadapan perwakilan buruh di Bekasi. RG bicara memberi semangat pada buruh yang akan melakukan demonstrasi pada 10 Agustus nanti. Tapi di situ RG juga menyelipkan kalimat "menempeleng" Jokowi sebagai presiden berkaitan dengan IKN, yang lalu disikapi pelaporan ke Bareskrim Polri oleh sejumlah kelompok relawan Jokowi. Relawan yang tak terima presidennya dihina dengan perkataan tak sepatutnya.
"... Tapi ambisi Jokowi adalah mempertahankan legasinya. Dia hanya memikirkan nasibnya sendiri. Dia menawarkan IKN, mondar-mandir ke partai-partai untuk mencari kejelasan nasibnya. Dia memikirkan nasibnya, bukan nasib kita. Itu bajingan yang tolol, sekaligus bajingan pengecut," ujar RG dikutip Senin (31 Juli 2023).
Laporan itu ditolak Bareskrim, karena itu delik aduan. Mereka tidak berhak melaporkan atas nama Jokowi. Jika ingin diteruskan, maka yang mengadukan adalah Jokowi sendiri. Agaknya istana memilih tidak ingin memperpanjang, seperti tidak berharap api kecil menjadi besar.
Membiarkan saja itu seharusnya, agar suasana kondusif tetap terjaga. Banyak pihak menyebut, justru jika tidak disikapi dengan terukur, justru bisa jadi pemantik memakzulkan Presiden Jokowi. Apalagi waktunya berdekatan dengan penyelenggaraan demo buruh.
Bagus jika narasi "bajingan yang tolol, sekaligus bajingan pengecut" itu tidak direspons berlebihan. Biar saja itu dihela angin waktu. RG sudah menerangkan makna harfiah kata "bajingan", yang jauh dari kesan jahat.
Sepertinya RG mengajarkan, keyakinan pada apa yang dinarasikan, dan itu tidak asal bicara, tapi bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Memilih sikap membiarkan RG, itu pastilah tidak berdiri sendiri, tapi ada arahan istana.
Keriuhan syahwat yang dibawa kumpulan relawan Jokowi memenjarakan RG, itu seperti sikap keharusan saja, yang mesti dilakukan. Tidak juga perlu disikapi berlebihan, meski narasi yang diumbar menghantam hak privat RG di luar kepatutan. Jika saja RG memilih sumbu pendek, ia bisa mengadukan balik para relawan itu. Tapi mustahil itu dilakukannya. Maka, asyik juga melihat komen putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang juga Walikota Solo, saat ditanya wartawan bagaimana sikapnya pada RG yang menghina bapaknya, Jokowi.
Jawaban enteng keluar dari mulutnya. Seperti jawaban sekenanya. Seperti sikap tak mau ambil pusing, "Biasa wae, biar warga yang menilai." Geli juga hamba mendengar jawabannya. Gibran mampu mencairkan suasana, yang juga tak biasa.
(*Penulis adalah seorang kolumnis)