GELORA.CO -Gugatan batas minimum usia calon Presiden (capres) dan calon wakil Presiden (cawapres) yang masih digodok di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan open legal policy, yang artinya menjadi ranah kepresidenan dan parlemen. Sehingga, gugatan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu dinilai sarat muatan politis.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, menilai gerakan untuk menurunkan batas minimal umur calon pemimpin bangsa terdiri dari dua golongan. Golongan pertama bersifat ideologis, yaitu upaya dari orang-orang muda, sebagian dari penyelenggara negara, untuk mendapat kesempatan bersaing sebagai calon pemimpin bangsa.
“Golongan kedua, ada hubungannya dengan upaya melanggengkan kekuasaan penguasa yang sedang berkuasa,” ujar Andi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/8).
Dikatakan Andi, setelah gagal untuk 3 periode jabatan presiden, gagal memperpanjang jabatan presiden dengan menunda pemilu, gagal pula kemungkinan presiden dua periode menjadi cawapres, kali ini mencari kemungkinan untuk mengajukan putra presiden, yang berusia kurang dari 40 tahun bisa lolos sebagai bakal cawapres.
“Golongan kedua ini yang menjadi masalah, karena upaya ini lebih didorong oleh kepentingan politik jangka pendek untuk melanggengkan kekuasaan penguasa,” kata Andi.
Sementara golongan pertama, lanjut Andi, berhubungan dengan kepentingan jangka panjang kepemimpinan bangsa untuk bisa menampilkan pemimpin-pemimpin berusia muda seperti juga di beberapa negara demokrasi lainnya.
“Kelihatannya golongan kedua menumpangi golongan pertama, berselancar di atas gelombang gerakan kebangkitan orang muda. Tapi ini juga sebenarnya sudah menjadi rahasia umum,” pungkasnya.
Gugatan batas minimal usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun dilayangkan oleh tiga pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan pertama diajukan oleh Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedek Prayudi. Gugatan kedua diajukan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Garuda, Yohanna Murtika, dan Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, sebagai pemohon dan Desmihardi dan M. Malik Ibrohim sebagai kuasa hukum.
Gugatan ketiga dilayangkan oleh Walikota Bukittinggi, Erman Safar, dan Wakil Bupati Lampung Selatan, Pandu Kesuma Dewangsa, dengan kuasa hukum Maulana Bungaran dan Munathsir Mustaman.
Hingga saat ini, permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2024 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum tersebut masih digodok di MK.
Sumber: RMOL