OLEH: ANDRE VINCENT WENAS
WAKTU itu tahun 2019, disebut tahun politik juga, Pemilu 2019. Banyak caleg sibuk berkampanye. Dari hampir semua parpol. Termasuk Partai Berkarya. Dengan calegnya waktu itu Agus Karmawan.
Banyak caleg (dari semua parpol) memberi janji-janji kepada para konstituennya selama kampanye. Boleh berkampanye, kata Bawaslu, asal bukan di tempat ibadah dan sekolah, tak boleh bagi-bagi amplop (maksudnya tentu amplop yang berisi uang, bukan amplop berisi kata-kata mutiara). Termasuk yang tak boleh adalah berjanji mau kasih uang nantinya. Nah!
Singkat cerita selama kampanye tahun 2019 itu Bawaslu mendapati banyak kasus pelanggaran (seturut kajian Bawaslu tentunya). Terjaringlah sejumlah politisi pelanggar aturan Pemilu 2019, termasuk Agus Karmawan. Semua diproses, tapi tidak sampai masuk bui, bahkan banyak dari mereka masih terus jadi politisi sampai sekarang.
Dan dinamika politik menjelang Pemilu 2024 melabuhkan Agus Karmawan ke PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Kasusnya ini bukanlah kasus korupsi yang ditangani KPK. Beda dengan 15 mantan napi korupsi yang baru-baru ini (Agustus 2023) diumumkan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch).
Lima belas bekas napi korupsi itu dicalegkan oleh parpol setelah melewati proses saringannya masing-masing. Walaupun kita tahu bahwa yang independen (DPD) ini pun ada yang terafiliasi dengan parpol tertentu. Jadi sebetulnya independensinya pun dipertanyakan.
Nama-nama 15 mantan napi korupsi itu adalah (ini daftar sementara, juga belum termasuk yang DPRD), sumber dari detikNews, Minggu 27 Agustus 2023:
Dari Partai Nasdem: Abdillah, dapil Sumut I; Abdullah Puteh, dapil Aceh II; Rahudman Harahap, dapil Sumut I; Eep Hidayat, dapil Jabar IX; Budi Antoni Aljufri, dapil Sumsel II.
Dari PKB: Susno Duadji, dapil Sumsel II.
Dari Partai Golkar: Nurdin Halid, dapil Sulsel II.
Dari Partai PDIP: Al Amin Nasution, dapil Jateng VII; Rokhmin Dahuri, dapil Jabar VIII.
Caleg independen (DPD): Patrice Rio Capella, dapil Bengkulu; Dody Rondonuwu, dapil Kaltim; Emir Moeis, dapil Kaltim; Irman Gusman, dapil Sumbar; Cinde Laras Yulianto, dapil Yogyakarta; Ismeth Abdullah, dapil Kepulauan Riau.
Bagaimana proses seleksinya (oleh parpol)? Seperti yang sudah pernah kita katakan, ini kan ibarat memasang maling yang sudah pernah tertangkap untuk dijadikan satpam di rumah kita.
Tampaknya pandangan Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) berbeda. Beliau malah bilang memasang mantan napi korupsi ini di daftar caleg PDIP lantaran partainya sudah mempertimbangkannya dengan saksama.
"Jadi dari PDI Perjuangan, kita mempertimbangkan dengan saksama. Mereka yang memang di masa lalu punya persoalan dengan hukum itu dengan menjalani tindak keputusan dari pidana tersebut itu oleh lembaga pemasyarakatan kan juga diminta dan diproses menjadi rakyat Indonesia yang baik, yang sadar hukum," kata Hasto di DPP PDIP, Jakarta Pusat, detikNews, Senin 28 Agustus 2023.
Argumentasi yang berputar-putar dan membingungkan memang. Maaf.
Kita kembalikan saja ke inti persoalannya, bahwa ini soal komitmen parpol dalam pemberantasan korupsi. Ya, komitmen pemberantasan korupsi!
Korupsi sebagai “extraordinary crime” (kejahatan luar biasa), bukan kejahatan yang biasa-biasa saja.
(Penulis adalah Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta)