Di perairan biru yang jernih di Laut Natuna, drama geopolitik yang menegangkan sedang terjadi. Di balik gambaran ketenangan dan ketenteraman, terdapat cerita tentang pertemuan yang mengancam, klaim kedaulatan yang bersaing, dan ketegangan geopolitik yang meningkat.
Dedi (39), nelayan yang telah mengarungi perairan Natuna selama 25 tahun terakhir mengungkapkan kegelisahannya. Dia menggambarkan bagaimana hasil tangkapannya telah berkurang bersamaan dengan pendapatannya karena persaingan yang mengganggu dari Vietnam, China, dan Filipina.
“Mereka memancing di tempat saya biasanya memancing, tetapi mereka menyuruh saya pergi,” kata Dedi dengan nada frustrasi kepada ChannelnewsAsia. Namun, ancaman tidak hanya datang dari kapal-kapal penangkap ikan asing. Dalam beberapa tahun terakhir, Dedi dan nelayan lainnya juga telah menemukan kapal-kapal penjaga pantai dan bahkan kapal perang, sebagian besar dari China.
“Ketika saya pertama kali melihat kapal penjaga pantai, saya takut,” kenang Dedi, menggambarkan bagaimana seseorang di kapal membuka peta yang menunjukkan garis sembilan putus-putus, klaim China yang kontroversial atas sebagian besar Laut Cina Selatan.
Laut Natuna Utara adalah bagian dari provinsi Kepulauan Riau, yang mencakup pulau Batam dan Bintan. Terletak di bagian selatan laut adalah gugusan pulau Natuna yang terdiri dari setidaknya 154 pulau kecil, tempat tinggal sekitar 80.000 orang, sebagian besar adalah nelayan seperti Dedi.
Natuna juga berada dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia 200 mil laut, yang didasarkan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang diadopsi pada 1982 dan diratifikasi oleh lebih dari 160 negara, termasuk Indonesia dan China.
Namun, Beijing telah mengklaim Natuna sebagai bagian dari hak perikanan tradisionalnya di Laut Cina Selatan, seperti yang ditandai oleh garis sembilan berbentuk U-nya.
Strategi China yang Lebih Luas
Pengamat Geopolitik Hendrajit menggambarkan situasi ini sebagai bagian dari strategi China yang lebih luas. “Ini serangan diplomatik yang harus ditangkap substansinya,” katanya saat dihubungi Inilah.com, Jumat (11/8/2023). “China hampir boleh dibilang mengklaim 90% luas yang mencakup Laut Cina Selatan,” tambahnya.
Klaim ini telah menjadi titik nyala utama dalam hubungan antara China dan negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia. China telah menggunakan garis sembilan putus-putus untuk menegaskan kedaulatannya atas wilayah yang luas di Laut Cina Selatan, termasuk perairan Natuna yang kaya sumber daya, yang juga diklaim oleh Indonesia.
Di tengah ketegangan ini, muncul pertanyaan tentang bagaimana Indonesia harus merespons. Hendrajit menawarkan pandangan bahwa soft diplomasi mungkin menjadi jalan keluar. “Soft diplomasi itu sebagai kerangka menjalin hubungan kerjasama strategis Indonesia China win-win solution,” katanya.
Hendrajit menyarankan pembentukan tim gabungan antara Kementerian Luar Negeri, Polhukam, TNI, dan pemangku kepentingan lainnya. “Saya kira sekarang secara udah tahapnya jelas peta masalahnya jadi harus menyusun formasi baru,” ujarnya.
Kepala stasiun penjaga pantai Natuna, Mukhlis, menggambarkan bagaimana kapal-kapal penjaga pantai China telah dikerahkan ke daerah ini setidaknya enam kali antara Januari dan Juni 2023. “Setiap tahun, sama saja karena apa pun yang kami lakukan, kapal-kapal China masih bersikeras pada garis sembilan putus-putus mereka,” katanya.
Ancaman di Luar Perikanan: Pengeboran Minyak dan Gas
Ancaman ini bukan hanya terbatas pada perikanan. Pada 2021, Beijing dilaporkan mengatakan kepada Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas di blok Tuna di Laut Natuna Utara. Jakarta menolak, menegaskan hak kedaulatannya, dan menyetujui rencana pengembangan senilai US$3 miliar atau sekitar Rp45 triliun untuk blok tersebut pada akhir 2022.
Pertikaian ini mencapai puncaknya pada awal 2020, ketika terjadi pertikaian besar yang melibatkan jet tempur, kapal perang, dan puluhan kapal dari kedua negara. Presiden Jokowi, bahkan sempat mengunjungi kepulauan terpencil ini.
Namun, sejak itu, respons Jakarta terhadap penyusupan China yang berkelanjutan telah sebagian besar redup. Analis menunjukkan tindakan seimbang yang halus antara kekhawatiran domestik, ambisi geopolitik yang baru muncul, dan sikap kebijakan luar negeri yang tidak berpihak yang telah diuji
Pakar hubungan internasional dari Universitas Jendral Achmad yani, Yohanes Sulaiman, menjelaskan bahwa Indonesia sengaja tetap “diam” dalam konteks ini. “Indonesia tidak ingin situasi di Natuna memanas,” katanya. “Karena Indonesia menginginkan investasi China.”
Tantangan dan Kompleksitas
Bagi nelayan seperti Dedi, situasi ini jauh dari tenang. Dengan mata pencaharian mereka terancam dan kedaulatan negara kita dipertanyakan, perairan Natuna telah menjadi simbol dari tantangan dan kompleksitas yang dihadapi di kawasan ini.
Dalam konteks yang lebih luas, klaim China di Laut Cina Selatan telah menimbulkan ketegangan dengan negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Klaim ini juga telah menimbulkan pertanyaan tentang peran Indonesia sebagai mediator dan “penengah jujur” dalam sengketa di jalur maritim kunci ini.
Dengan situasi yang terus berkembang dan tantangan yang semakin kompleks, perairan Natuna telah menjadi medan pertempuran simbolis dalam pertarungan yang lebih besar untuk pengaruh dan kontrol di Laut Cina Selatan. Bagaimana Indonesia dan negara-negara lain di kawasan ini akan menavigasi perairan ini dalam tahun-tahun mendatang akan menjadi pertanyaan penting yang akan menentukan masa depan kawasan ini.
Sumber: inilah