GELORA.CO - Lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan bahwa hampir seribu orang telah ditangkap karena menyuarakan haknya di ruang publik. Data ini tercatat dalam periode Januari 2022 hingga Juni 2023, dengan total 183 kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak kebebasan berpendapat.
“Berbagai peristiwa yang terjadi telah mengakibatkan sebanyak 967 orang ditangkap,” ujar Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, di Kantor KontraS, Jakarta, pada Selasa (8/8/2023) dikutip dari CNNIndonesia.com.
Dimas menjelaskan bahwa dari rangkaian peristiwa tersebut, terdapat 272 korban yang mengalami luka-luka dan tiga orang tewas.
Kelompok tersebut juga menyoroti peran polisi sebagai pelaku utama dalam sejumlah peristiwa yang terkait dengan pelanggaran hak berekspresi.
“Dalam catatan kami, Kepolisian menjadi pelaku dominan dengan terlibat dalam 128 peristiwa, diikuti oleh unsur pemerintah lain dengan 27 peristiwa dan swasta (perusahaan) dengan 24 peristiwa,” ungkap Dimas.
KontraS juga menyoroti beberapa kasus pelanggaran hak berekspresi, seperti kriminalisasi terhadap petani Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK) yang mengemukakan hak atas tanah mereka yang diduga dilakukan oleh Polres Karawang.
Selain itu, ada kasus kriminalisasi terhadap aktivis pendiri Lokataru dan mantan Koordinator KontraS, yaitu Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, terkait dengan kasus ‘Lord Luhut’. KontraS menilai keduanya mengalami kriminalisasi karena dianggap merendahkan pribadi Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
KontraS juga menyoroti kasus kriminalisasi terhadap tiga petani asal Pakel, Banyuwangi, yang ditangkap dan dituntut 10 tahun pidana karena diduga menyerobot lahan koorporasi.
Selanjutnya, ada kasus kriminalisasi terhadap buruh PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), di mana beberapa buruh ditangkap akibat mogok kerja pada Februari 2023 lalu.
Lembaga ini juga menyoroti pelaporan polisi terhadap akademisi Rocky Gerung oleh unsur relawan, setelah ia mengkritik Presiden terkait rencana Ibu Kota Negara (IKN).
KontraS mengingatkan bahwa situasi ini akan terus berlanjut seiring dengan kualitas demokrasi di Indonesia yang dinilai cenderung stagnan. Mereka meminta Presiden Joko Widodo untuk memastikan kebebasan berpendapat masyarakat terjaga.
Selain itu, KontraS juga mendesak Kepolisian RI untuk menghentikan tindakan represif terhadap demonstrasi yang terkait dengan ekspresi publik.
Lembaga ini juga mengajak DPR untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi pemerintah yang berpotensi membatasi kritik masyarakat.
“Kami meminta Presiden Republik Indonesia untuk memastikan bahwa semua aparat di bawah kendalinya menghentikan segala bentuk pembungkaman kritik melalui kekerasan dan kriminalisasi, serta menjamin kebebasan sipil warga negara,” tegas Dimas.
Sumebr: beritabaru