OLEH: DJONO W OESMAN
BELUM ada, orang dipolisikan dengan jumlah laporan polisi (LP) sebanyak Rocky Gerung. Pekan lalu sudah 25 LP ditangani Mabes Polri. Terbaru, Senin (14/8) Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mempolisikan Gerung. Pasal penghinaan juga. Total jadi 26 LP.
Laporan dari Menkum HAM, Yasonna Laoly ke Polda Metro Jaya dibenarkan Direktur Reserse Kriminal Khusus, Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak.
Dalam siaran pers, Senin, 14 Agustus 2023, Kombes Ade Safri menyatakan singkat: “Iya betul (Rocky Gerung dipolisikan Yasonna Laoly).”
Ade Safri: "Kami saat ini sedang melakukan serangkaian giat penyelidikan atas laporan dugaan tindak pidana yang terjadi.”
Laporan tersebut sudah diklarifikasi oleh Lembaga Bantuan Hukum Himpunan Masyarakat Nias Indonesia (LBH HIMNI). Ini perkara lama. Gerung diduga menghina Yasonna Laoly pribadi, sekaligus menghina warga Suku Nias. Sudah pernah dipolisikan, tapi belum ditindaklanjuti.
Dikutip dari media berita Niassatu.com, 31 Januari 2020 berjudul, “Dinilai Rendahkan Marga Laoli, Warga Nias Kecam Akun Fans Rocky Gerung”. Disebutkan, akun Twitter: #AkalSehat @RGFansclub2019 menghina Yasonna Laoly dan warga Suku Nias. Unggahan pada Kamis, 30 Januari 2020 pukul 08.37 WIB. Isinya begini:
“Aku Punya anjing kecil… kuberi nama laoli. Dia senang bermain – main, harun namanya. Laoli, kemari gug gug gug! #Akalsehat”
Itu petikan lirik lagu anak berjudul “Aku Punya Anjing Kecil”. Populer di 1980-an, dinyanyikan penyanyi cilik (waktu itu) Chicha Koeswoyo. Anjing kecil di lirik lagu itu bernama Heli.
Maka, unggahan itu dikecam komunitas masyarakat Nias yang tergabung dalam Forum Pemuda Peduli Nias (PPN) dan Ikatan Pemuda Nias Indonesia (IPNI).
Dalam siaran persnya, Jumat, 31 Januari 2020, Ketua PPN, Evan Zebua menyatakan:
“Kami mengecam keras pernyataan dalam akun @RGFansclub2019 yang mengasosiasikan kata “Laoli” dengan nama binatang (anjing). Untuk diketahui, bahwa diksi Laoli (juga sering ditulis Laoly) adalah sebutan dan identitas kultural bagi sebagian warga Nias dalam bentuk marga.”
Dilanjut:: “Karena itu, pengasosiasian secara sengaja kata “Laoli” itu dengan binatang, merupakan perbuatan yang tidak beradab dan tidak bisa diterima. Hal itu merupakan penghinaan dan perendahan bagi masyarakat Nias.”
1 Februari 2020 unggahan bernada menghina itu dihapus oleh pemilik akun.
Unggahan sempat dilaporkan ke polisi waktu itu. Tapi tidak ada tindak lanjut. Kini Yasonna Laoly mengungkit hal itu, dan melaporkan Gerung ke Polda Metro Jaya.
Menanggapi hal itu, Rocky Gerung meminta Laoly memeriksa kembali keaslian akun tersebut. Menurut Gerung, kini banyak media sosial yang mengatasnamakan dirinya.
Laporan polisi Yasonna ini jadi LP yang ke-26 buat Gerung. Merupakan laporan ‘kelas berat’, karena pelapornya pejabat negara aktif.
Sebelumnya, sampai pekan lalu, sudah ada 25 LP yang mempolisikan Gerung. LP disatukan di Bareskrim Polri. Karena, LP masuk ke beberapa Polda di Indonesia.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dir Tipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro kepada wartawan Jakarta, Kamis, 10 Agustus 2023 mengatakan:
"Sampai hari ini ada 25 Laporan Polisi yang ada di Bareskrim dan Polda jajaran."
Dirinci 25 laporan polisi terhadap Rocky Gerung itu terdiri dari: Bareskrim Polri dua LP, Polda Metro Jaya empat LP, Polda Sumut tiga LP, Polda Kaltim 11 LP, Polda Kalteng tiga LP. Polda DIY dua LP. Semua LP pasal yang dituduhkan sama: Penghinaan.
Djuhandani: "Semua LP ditarik ke Mabes Polri, karena obyek perkara dan terlapor semua, sama. Dalam proses, 15 LP sudah diterima Pidum."
Dilanjut: “Proses penyelidikan perkara itu berparalel. Polda-Polda terkait melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Sudah berjalan Pidum maupun wilayah karena semua penyidik baik Pidum maupun penyidik wilayah kita libatkan.”
Begitu rumit perkara yang sebenarnya sederhana ini. Begitu saktinya Gerung. Awalnya, Gerung dalam video yang viral, mengatakan: “Presiden Jokowi bajingan tolol.”
Penghinaan adalah delik aduan. Artinya, polisi akan memproses jika pihak korban langsung (tidak diwakili) melaporkan ke polisi. Sedangkan, Presiden Jokowi menanggapi hinaan Gerung itu, dengan menyatakan: “Saya kerja aja.” Artinya tidak melapor.
Masalah jadi rumit, masyarakat tidak terima Presiden Jokowi dihina Gerung. Lalu masyarakat berbondong melapor polisi. Ke beberapa Polda di Indonesia. Bertumpuk. Akhirnya disatukan ke Bareskrim Polri.
Pastinya, 26 laporan (termasuk LP dari Yasonna Laoly) dengan aneka pasal, yang bukan penghinaan. Menghindar, supaya tidak masuk wilayah delik aduan.
Antara lain, laporan dari Biro Hukum PDIP dengan tuduhan, Gerung menyiarkan berita bohong. Di kalimat Gerung yang beredar di video: “Jokowi mondar-mandir ke China menjual IKN (Ibu Kota Nusantara).”
Pihak pelapor menyatakan: “Presiden Jokowi berkunjung ke China dalam rangka menjalankan tugas negara. Maka, Gerung melakukan pembohongan publik.”
Tapi inti dari 25 LP adalah Gerung menghina Presiden Jokowi. Ditambah satu LP, menghina Yasonna Laoly (korban melapor langsung) plus menghina warga Suku Nias.
Di era demokrasi kita sekarang, perkara ini jadi pusat perhatian publik. Di saat orang bebas bicara apa saja. Membuat masyarakat penasaran, apakah Gerung bisa dibui karena ucapan-ucapan seperti itu? Ataukah tidak? Sedangkan, pelapornya tak kurang, PDIP dan menteri aktif.
Polri tentu bertindak sangat hati-hati menangani perkara ini. Karena keputusan Polri di perkara ini bakal jadi patokan masyarakat bertindak di masa depan. Terutama, bagi masyarakat yang siap-siap menghina pejabat tinggi negara, yang sekiranya tidak lapor polisi.
Keluar dari konteks perkara pidana, mengapa kini kita suka menghina orang di muka umum? Dan, orang yang menghina itu kemudian disoraki warga sebagai suatu sikap heroik. Sikap pemberani. Dan hebat. Yang bisa disimpulkan, sebagian masyarakat suka adanya penghinaan-penghinaan itu.
Kondisi ini aneh. Ada orang menghina orang lain, malah dianggap hebat.
Menyitir kalimat Budayawan Muhammad Sobary: “Orang yang berani menghina pejabat sekarang, itu keberanian semu. Keberanian seorang pengecut. Kalau berani menghina Soeharto di zaman Orde Baru, dulu, pasti orangnya langsung tamat.”
Berarti, zaman bergerak bagai pendulum. Seperti bandulan berayun. Dari zaman otoriter Orde Baru, orang sangat takut bicara, apalagi mengkritik, pun tak seorang berani menghina presiden sebagai bajingan tolol.
Menuju era demokrasi sekarang, orang sangat bebas bicara. Akibatnya, kata penghinaan disoraki sebagai hero. Bandul berayun sangat kencang.
Tapi, mengapa harus menghina? Mengapa tidak dilontarkan solusi, jika suatu kondisi dianggap salah? Bukankah penghinaan identik dilakukan masyarakat kelas bawah? Ataukah kita memang masih kelas bawah?
(Penulis adalah Wartawan Senior)