GELORA.CO - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkapkan 90 persen keuntungan dari kebijakan hilirisasi industri nikel di Indonesia justru mengalir ke Cina. Setelah dibantah oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi, Faisal Basri pun kemudian membeberkan datanya.
"Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan," ujar Faisal Basri dalam keterangannya, Jumat, 11 Agustus 2023.
Sebelumnya, Jokowi menyatakan bahwa Indonesia mendapatkan banyak keuntungan karena hilirisasi tersebut. Menurut Jokowi, hal itu terlihat dari nilai ekspor yang melonjak tajam dari Rp 17 triliun menjadi Rp 510 triliun.
Namun Faisal Basri menilai angka-angka keuntungan hilirisasi nikel yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Menurutnya, Jokowi hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia. Sebab jika merujuk data 2014, nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya Rp1 triliun.
Ia menguraikan, angka tersebut didapat dari ekspor senilai US$ 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per US$. Karena itu ia mempertanyakan dari mana angka Rp510 triliun yang disampaikan Jokowi.
Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja dengan kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja setara dengan Rp 413,9 triliun.
Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Jokowi dan hitungnya, Faisal Basri tak menampik ada lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis. Namun, ia menegaskan uang hasil ekspor itu sebagian besar tidak mengalir ke Indonesia.
Hal itu mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolahan bijih nikel 100 persen dimiliki oleh Cina dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Karena kondisi tersebut, perusahaan Cina berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Menurut Faisal Basri situasi ini berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya. Industri sawit dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Sehingga penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel, tuturnya, nihil alias nol.
Bila keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, menurut Faisal Basri, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan. Karena perusahaan menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
"Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel," ucapnya.
Sumber: tempo