GELORA.CO - Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri menegur saksi kasus dugaan korupsi BTS Bakti Kominfo. Saksi ditegur karena melirik-lirik ke salah satu terdakwa.
Ada 3 orang yang duduk sebagai terdakwa yakni mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate; Anang Achmad Latif (Dirut BAKTI Kominfo); dan Yohan Suryanto (Tenaga Ahli pada Human Development Universitas Indonesia).
Sementara saksi yang ditegur ialah dua warga negara China yakni Huang Liang selaku CEO Fiberhome Technologies Indonesia, dan Deng Mingsong selaku Sales Director Fiberhome Technologies Indonesia. Keduanya dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/8).
Huang dan Deng dihadirkan sebagai saksi dengan didampingi penerjemahnya yang didatangkan Kejaksaan. Keduanya ditegur karena sempat melirik ke Anang Achmad Latif.
Teguran dilontarkan ketika hakim menanyakan soal kontrak konsorsioum Fiberhome dalam proyek BTS itu. Fiberhome merupakan konsorsium yang menggarap paket 1 dan 2.
"Endak usah liat sama Pak Anang, Pak. Lihat ke sini saja. Agak curiga juga kalau lihat-lihat begini, jangan-jangan ada pula kode dia situ. Lurus aja ke sini," kata Fahzal ke saksi di tengah-tengah sidang.
"Nanti akan ketemu Pak, siapa yang salah. Siapa yang tidak salah. Jangan dikira enggak ketemu," tambah dia.
Pada saat sama, Fahzal menegaskan bahwa dirinya pernah menangani sidang perkara serupa yang bahkan sinyalnya tak bisa dilihat secara fisik, yaitu korupsi pengadaan satelit di Slot Orbit 123. Kasus ini berada di Kementerian Pertahanan.
Jadi Fahzal menegaskan bahwa hakim paham soal pola korupsi tersebut. Oleh karena itu dia mewanti-wanti semua pihak agar tidak berupaya menyembunyikan fakta.
"Kami kemarin menyenangkan satelit, pengadaan satelit di Slot Orbit 1,2,3 Bujur Timur. Sini juga ruang sidangnya, baru bulan kemarin kami putus, 3 bulan yang lalu. Itu 37 ribu KM dari atas Surabaya itu, atas lurus ke atas, sampai tuh di ruang angkasa sana. Itulah namanya Slot Orbit 123 Bujur Timur. Kami juga menyidangkan perkara itu Pak, ada enggak barangnya di situ apa tidak, tahu kami, Pak, walaupun kami endak di ruang angkasa karena ahlinya bisa kami ajukan ke sini. Jadi enggak bisa juga dibohong-bohongin," terang Fahzal.
"BTS juga dibangunnya begitu, ini BTS masih bisa kita lihat kasat mata, Pak. Karena towernya di bumi, kalau di Slot Orbit satelit di mana itu, masih bisa Pak dibuktikan di situ ada enggak satelit itu ada sinyalnya enggak tidak," tambah Fahzal.
Lewat perbuatannya itu, Fahzal menegaskan bahwa sinyal yang tak terlihat saja bisa dibuktikan korupsinya, apalagi tower BTS yang kasat mata. "Jadi jangan dikira hakim ini bodoh-bodoh betul, tidak," tegasnya.
Selain menegur saksi karena melirik ke terdakwa, Fahzal juga menyinggung soal modus WNA yang jadi saksi di persidangan. Mereka kerap menggunakan penerjemah padahal bisa berbahasa Indonesia.
"Ada juga itu, Pak, saya menyidangkan dia sebetulnya pandai bahasa Indonesia tapi kalau sudah sidang dia pake penerjemah. Ada itu Pak, baru kemarin saya sidang, warga negara asing juga, begitu lho Pak," kata Fahzal.
"Tapi ini saya lihat, memang, sebetulnya 10 tahun di Indonesia seharusnya sudah lancar berbahasa Indonesia. Ya, tapi endak tahulah, apa benar-benar enggak ngerti atau bagaimana," pungkas dia.
Pernyataan Fahzal itu disampaikan ke Huang yang menggunakan penerjemah di sidang karena tak bisa berbahasa Indonesia. Huang adalah salah satu orang asing, WNA China, yang menang dalam tender proyek BTS 4G.
Dalam dakwaan, disebutkan bahwa Konsorsium Fiberhome menggarap pekerjaan penyediaan Infrastruktur BTS 4G dan Infrastruktur Pendukung Paket 1 (Sumatera, Nusa Tenggara, dan Kalimantan) dan Paket 2 (Sulawesi dan Maluku).
Masih dalam dakwaan, Konsorsium FiberHome PT Telkominfra PT Multi Trans Data (PT MTD) untuk Paket 1 dan 2 mendapat keuntungan sebesar Rp 2.940.870.824.490 terkait kasus BTS ini.
Huang dan 6 saksi lain dihadirkan di sidang hari ini sebagai saksi untuk terdakwa Johnny G Plate dkk. Plate dkk didakwa memperkaya diri dan kelompok dari proyek tersebut hingga kemudian merugikan negara hingga Rp 8 triliun lebih.
Sumber: kumparan