GELORA.CO - Dewan Parwakilan Rakyat (DPR) yang saat ini telah berusia 78 tahun mendapatkan kritik dari sejumlah pihak. Mereka menilai DPR saat ini lebih berperan sebagai pendukung eksekutif dari pada rakyat yang telah memilihnya untuk duduk di parlemen.
Peneliti kebijakan publik IDP-LP, Riko Noviantoro mengatakan, ada catatan untuk DPR yang saat ini dipimpin Puan Maharani. Pertama, Anggota DPR bukanlah pekerja partai atau petugas partai.
Saat rapat bersama Menkopolhukam, Mahfud MD, di Komisi III DPR RI, Rabu (29/3/2023) lalu, Ketua Komisi III, Bambang Wuryanto menyatakan, kalau anggota-anggota DPR tidak mewakilkan rakyat karena anggota-anggota DPR patuh terhadap ketua-ketua umum partai mereka masing-masing.
“Cara pandang anggota DPR yang menilai dirinya petugas partai merupakan kesesatan dan pengkerdilan suara rakyat. Hal sepatutnya tidak terjadi saat ini dan seterusnya,” ujar Riko Noviantoro kepada Harian Terbit, seperti ditulis Kamis (31/8/2023).
Kedua, sambung Riko, fungsi DPR saat ini semakin melemah. Selama ini praktek sebagai lembaga kontrolling, legislasi dan budgeting tidak berjalan baik.
DPR tidak mampu menjadi bagian penting dari tegaknya demokrasi dan terwujudnya tatanan pemerintah yang baik. DPR tak mampu mendengar jernih harapan rakyat.
“Saat ini justru anggota DPR bermain dalam praktek demokrasi praktis. Hingga menimbulkan perilaku tirani mayoritas. Tidak membangun dialog secara mendalam,” paparnya.
Riko menuturkan, adanya tirani mayoritas bisa dilihat dari pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal mayoritas rakyat menolak UU yang merugikan pekerja tersebut. Namun karena suara mayoritas di DPR lebih pro terhadap UU tersebut maka UU yang penuh kontroversi tersebut tetap disahkan.
“DPR saat ini juga tidak mampu sebagai penyeimbang kekuasaan,” tegasnya.
Loyo dan Memble
Direktur Gerakan Perubahan (Garpu) Muslim Arbi mengatakan, saat ini di usia 78 tahun kinerja DPR semakin loyo dan memble.
“Saya adalah wakil Aktivis. Tapi gugatan disfungi DPR yang pernah didaftarkan di PN Jakarta Pusat beberapa waktu lalu kandas dan tidak jelas juntrungan gugatan saya,” ujarnya.
Muslim menilai, saat ini fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam sejumlah isu sangat lemah. Misalnya, dalam soal utang luar negeri yang sampai saat ini telah mencekik bangsa dan negara.
Selain itu, soal pembangunan infrastruktur yang ugal-ugalan, neraca pembayaran hutang luar negeri yang besarnya 1/3 APBN. “Karena bunga pokok dan bunga sekitar Rp780 triliun harus dibayar oleh negara,” jelasnya.
Soal UU Cipta Kerja, sambung Muslim, hingga saat ini juga masih didemo oleh kaum buruh. Demikian juga UU IKN, UU Kesehatan, UU Minerba yang mendapat penolakan luas dari masyarakat. KKN juga semakin marak bahkan melibatkan Presiden Jokowi dan anak - anaknya seperti yang dilaporkan dosen UNJ Ubeidillah Badrun ke KPK.
“Tapi hingga kini DPR tidak ikut juga dorong agar KPK proses. Bahkan sampai tokoh reformasi Amien Rais, Rizal Ramli dan sejumlah tokoh nasional datangi KPK pun belum digubris KPK dan DPR tetap diam seribu bahasa,” tandasnya.
Sumber: harianterbit