OLEH: PRIJANTO
“Eugen Ehrlich, ahli hukum Austria, pelopor aliran Sociological Jurisprudence, ajarannya berpokok pada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law) atau dengan kata lain perbedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial. Ehrlich mengatakan, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat." (Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, halaman 42)
MERUJUK UU RI No 15/2019 tentang Perubahan atas UU RI No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, teori Ehrlich telah terwadahi dalam Bab IX Pasal 96 Partisipasi Masyarakat.
Suatu kenyataan, tahapan pasal tersebut sudah dilakukan melalui RPDU, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, dan lain-lain, untuk menyerap aspirasi masyarakat.
Persoalannya, apakah tahapan sudah dilakukan secara maksimal dalam upaya membuat peraturan perundang-undangan yang mewadahi aspirasi masyarakat? Atau dilakukan tetapi hanya formalitas?
Sebagai ilustrasi, RUU Cipta Kerja apa mendengarkan aspirasi anggota organisasi buruh? Setelah UU diketok pun, mengapa sosialisasi hanya dilakukan kepada institusi pemerintah, seperti kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kaltim? Apa karena mengutamakan adanya proyek IKN, dan tidak bersedia dialog dan tidak menghiraukan suara buruh Jabodetabek
Inilah kesan dan tafsir yang terjadi.
Berbicara kualitas peraturan perundang-undangan di atas, ada keterkaitan dengan judul artikel ini. Penulis setuju pembubaran DPD RI, selanjutnya melakukan reorganisasi DPR RI. Mengapa, karena ada pernyataan dari tokoh dan anggota DPD RI sebagai berikut:
Jimly Asshiddiqie: "Saya sudah empat tahun di sini (DPD RI), ini kayak LSM saja. Dia hanya memberi saran, pertimbangan, usulan, tetapi nggak pernah didengar, jadi dia tidak memutuskan, padahal ini lembaga resmi. Maka harus dievaluasi, bisa nggak dia bubar saja lah, karena adanya sama dengan tiadanya." (Kompas.com, 16/8/2023).
Dengan dibubarkannya DPD RI, maka individu yang dipilih rakyat masuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang diwadahi dalam Fraksi Utusan Daerah. Dengan demikian, mereka yang terpilih bisa mewakili aspirasi rakyat di daerah, kata Jimly.
Kilas balik. Pembentukan DPD saat amandemen UUD 1945, karena ada keinginan untuk meningkatkan Utusan Daerah di MPR dari peran "Utusan" menjadi "Perwakilan", sebagai upaya membangun hubungan pusat dengan daerah, yang lebih egaliter, karena dinilai ada ketidakadilan ekonomi pusat dengan daerah.
Perdebatan terjadi, dengan arus mengarah kepada susunan dan kedudukan MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD yang seluruhnya dipilih melalui Pemilu.
Dengan demikian, Utusan Daerah dan Utusan Golongan di MPR sudah tidak ada lagi. Padahal masih ada yang berkeinginan Utusan Golongan tetap ada di MPR, terutama untuk golongan TNI/Polri.
Kebutuhan militer di MPR saat itu terbelah: (1) setuju militer masih ada di MPR, (2) tidak setuju militer di MPR, dan (3) dikurangi bertahap sampai dengan tahun 2009. Keinginan PDIP dan sebagian dari Golkar masih ingin TNI/Polri duduk di MPR.
Dua puluh tahun UUD 2002 sudah digunakan sebagai hukum dasar, dan penulis mencatat beberapa hal:
DPD RI merasa perannya dibatasi; memang sejak awal dirancang dengan sistem soft bicameral. Jadi suka tidak suka, harus bisa menerima.
Apakah impian membangun hubungan yang egaliter pusat dengan daerah tercapai? Masih jauh dari harapan. Jadi wajar jika ada usul DPD RI dibubarkan.
Apakah ada suara ingin memisahkan dari NKRI, ketika ekspektasi daerah tidak terpenuhi? Ada, walau tidak santer, namun sangat berbahaya, jika DPD tetap ada.
Dari pelataran MPR mencuat keinginan untuk dikembalikannya Utusan Golongan di MPR, adanya GBHN/PPHN produk MPR, dan MPR RI sebagai Lembaga Tinggi Negara yang tertinggi.
Kelompok tertentu, yang peka terhadap situasi dan kondisi saat ini, sering bertanya "Mana TNI?" dan "Mana Purnawirawan?"
Mereka bertanya bukan rindu Dwi Fungsi ABRI. Mereka paham Dwi Fungsi ABRI tidak ada dalam UUD 1945, dan keberadaannya kala itu hanya kebijakan operasional dari tuntutan ruang dan waktu. Mereka hanya ingin nilai-nilai jati diri TNI yang tampil, ketika persatuan pecah.
Mereka ingat pesan Panglima Besar Jenderal Besar Soedirman: "TNI tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga." TNI adalah Tentara Nasional, Tentara Rakyat dan Tentara pejuang bak "wasit" yang tidak memihak atau bukan alat golongan dalam kehidupan bernegara.
Ada satu argumentasi sewaktu membahas DPD pada proses amandemen, yang sejalan dengan pikiran penulis, yaitu adanya kekhawatiran di internal PDIP, bahwa pembentukan DPD akan mengarah pembentukan negara federasi Indonesia.
Hal ini menyebabkan munculnya gerakan untuk mengembalikan UUD 1945 kepada bentuk aslinya, yang dipelopori tokoh konservatif PDIP yang berasal dari faksi PNI seperti Abdul Madjid, Amin Arjoso, Bambang Triantoro, Sutardjo Surjoguritno, Permadi dan bergabung dengan tokoh Try Sutrisno, Syaiful Sulun, Ishak Latuconsina, dan lain-lain. (Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi, halaman 258-259).
Penulis setuju DPD RI dibubarkan, namun pertimbangannya berbeda dengan Ketua DPD RI. Pertimbangan yang lebih luas, penulis sampaikan pada FGD di Yogyakarta, UGM Univercity Club, 11/8/2023, ketika Ketua DPD menyampaikan lima proposalnya, sebagai berikut:
Usul DPD dibubarkan, diikuti dengan pengembangan individu ikut Pemilu berbasis daerah, untuk anggota DPR, hendaknya tidak semata-mata karena DPD tidak berperan. Pertimbangan pembubaran DPD harus lebih luas lagi, bahwa:
DPD bisa menjadi embrio negara federasi Indonesia, dan NKRI itu tidak mengenal adanya DPD,
Ikutnya individu dalam Pemilu dengan basis daerah, untuk duduk sebagai anggota DPR, seyogyanya dengan pertimbangan atau pendekatan Kedaulatan Rakyat, Tujuan Hukum dan Sosiologi, dan
Mereka yang terpilih, membentuk fraksi di DPR dengan nama Fraksi Perwakilan Daerah atau Fraksi Daerah; bukan Fraksi Utusan Daerah seperti usul Prof. Jimly atau DPD RI.
Pendekatan Dari Perspektif Kedaulatan Rakyat. Pokok pikiran ketiga Pembukaan UUD 1945, tentang kedaulatan rakyat cukup jelas. Dalam kaitan hubungan politik dan hukum, bisa didasarkan teori Rousseau, John Locke, dan Montesquieu.
Sebagaimana teori Rousseau, dia mengatakan hakikat asasi dari hukum bukan kemauan golongan tertentu, bukan pula kepentingan orang-orang yang hidup dalam segerombolan yang tidak teratur, dan yang pasti bukan kemauan dan kepentingan orang per orang. Hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum yakni individu serentak kelompok, yang hidup teratur dalam sistem politik negara.
Dengan demikian, menjadi wajar dan keharusan, DPR sebagai salah satu lembaga pembentuk hukum tidak boleh hanya dikuasai oleh golongan tertentu atau Partai Politik saja.
Perorangan yang tergabung dalam basis daerah, dan organisasi tertentu sebagaimana hak Parpol pun harus memiliki keterwakilan di DPR, sebagai implementasi kedaulatan rakyat dalam membuat peraturan perundang-undangan. Untuk itu DPR RI perlu direorganisasi, dalam upaya revitalisasi dalam bernegara.
Pendekatan Dari Perspektif Tujuan Hukum. Bahwasanya, hukum dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terkait dengan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat, seperti keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. Sehingga logis jika dalam pembentukan hukum di DPR diperlukan keterlibatan perwakilan rakyat secara luas.
Tidak boleh ada komponen masyarakat yang ditinggalkan, agar produk hukum yang dihasilkan sesuai aspirasi masyarakat dan bisa mencapai tujuan hukum. Di samping itu, pengawasan atas jalannya hukum, yaitu apa yang dilakukan eksekutif pun bisa efektif.
Pendekatan Dari Perspektif Sosiologi. Bahwasanya hukum itu buatan manusia maka hendaknya hukum itu merupakan kehendak masyarakat atau rakyat, sehingga materi muatan peraturan perundang-undangan sesuai aspirasi dan budaya masyarakat, sehingga apa yang menjadi tujuan hukum tercapai.
Sebagai ilustrasi, Perppu Cipta Kerja yang digugat di MK disertai unjuk rasa, tidak akan terjadi jika disusun dengan berpihak kepada rakyat. Hal ini bisa dicapai jika susunan keanggotaan DPR dari berbagai komponen masyarakat atau tidak hanya dari Parpol.
Dengan demikian, sangat relevan jika anggota DPR ke depan, bukan hanya dari organisasi Partai Politik saja, tetapi juga dari organisasi lainnya dan perorangan. Inilah yang penulis maksud dengan reorganisasi DPR, dengan tujuan agar produk peraturan perundang-undangan yang dibuat DPR bersama Eksekutif, memenuhi Teori Ehrlich.
Fraksi dan Komisi DPR RI, Prof Jimly Asshiddiqie atau DPD mengusulkan, untuk perorangan yang ikut Pileg, di DPR diwadahi dalam Fraksi Utusan Daerah. Penulis berpendapat, agar bisa dibedakan dengan cepat dan jelas karena tugas dan peran yang berbeda, mengingat di MPR RI ada Utusan Daerah (bila sudah kembali ke UUD 1945), maka individu yang ikut Pileg, di DPR dikelompokkan di dalam Fraksi Perwakilan Daerah, atau Fraksi Daerah saja.
Sedangkan organisasi yang memenuhi syarat undang-undang, membentuk Fraksi dengan nama organisasinya, sebagaimana Fraksi Parpol. Dengan demikian, Dewan Perwakilan Rakyat sesuai namanya akan terlihat konfigurasi perwakilannya dari komponen masyarakat secara proporsional dan adil; ada Fraksi Partai X, Fraksi Partai Y, Fraksi Partai Z, Fraksi Daerah, Fraksi TNI, Fraksi Polri, Fraksi Buruh, Fraksi Golongan Agama, dan lain sebagainya, umpamanya.
Sesungguhnya, dalam beberapa kesempatan penulis melontarkan gagasan, tidak perlu ada fraksi-fraksi di DPR RI; cukup komisi-komisi sebagai mitra kerja dari unsur-unsur eksekutif. Gagasan ini muncul dari pengamatan, bahwa anggota DPR pilihan rakyat, setelah duduk sebagai anggota dewan, di bawah kendali apa kehendak Ketum Parpol, bahkan bisa sampai pencopotan.
Apa logis? Apa ini yang disebut kedaulatan rakyat? Belum lagi cara rekrutmen yang perlu dibenahi, yakni perlunya sistem saringan yang ketat dan transparan, guna menghindari dinasti politik. Suami-istri dan empat anaknya bisa maju sebagai Caleg, karena berduit dan dari keluarga pengurus DPP Partai.
Penutup
Apakah bisa dan apa boleh mereorganisasi DPR? Mengapa tidak bisa dan tidak boleh? UUD 1945 disusun dengan sifat “Supel", "Living constitution" dan "adaptif". Apabila ada niat baik untuk bangsa dan negara, apa yang tidak bisa atau tidak boleh diatur, jika hal tersebut memang baik dan perlu diatur.
Lagipula, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 sudah mengaturnya: "Susunan Dewan perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang-undang." Apa isi undang-undang, tergantung kesepakatan demi baiknya bangsa dan negara bukan?
Itulah pertimbangan dan usul penulis, mengapa DPD perlu dibubarkan dan DPR perlu direorganisasi, agar anggota dewan kredibel dan memiliki kapasitas, sehingga output peraturan perundang-undangan mencerminkan kehendak rakyat, yang memiliki kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan bagi rakyat.
Faktor non fisik yang diperlukan, niat baik semua pihak, berani meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan, dan kesepakatan, yang semuanya berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Insyaallah, amin.
(Penulis adalah Aster KSAD 2006 hingga 2007, yang juga Wakil Gubernur DKI Jakarta 2007 hingga 2012 dan Inisiator Gerakan Kebangkitan Indonesia)