Pepesan Kosong Restu Jokowi

Pepesan Kosong Restu Jokowi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: BUDIANA IRMAWAN*
PRABOWO Subianto bakal calon presiden dari Partai Gerindra menunggu restu Jokowi menggandeng calon wakil presiden yang akan mendampinginya. Kendati Partai Gerindra bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jauh hari sudah deklarasi Koalisi Indonesia Raya. Muhaimin Iskandar Ketum PKB yang berharap menjadi calon wakil presiden statusnya masih digantung tanpa kepastian.

Begitupula Airlangga Hartarto Ketum Partai Golkar. Koalisi Indonesia Bersatu dibangun bersama Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak jelas juntrungannya. PPP malah terang-terangan pindah koalisi bergabung dengan PDIP mengusung bakal calon presiden Ganjar Pranowo.

PAN sendiri terkunci oleh figur calon wakil presiden Erick Thohir sebagai syarat mutlak koalisi yang ditawarkan baik kepada bakal calon presiden Prabowo Subianto maupun Ganjar Pranowo.

Semua partai politik pendukung pemerintah tersebut mengakui langkah politiknya kehendak presiden Jokowi. Sikap elite partai politik yang memalukan, menunjukan tidak punya independensi dalam mengambil keputusan strategis.

Menunggu restu Jokowi implisit mengandaikan limpahan suara dari loyalis Jokowi yang diasumsikan konstan seperti Pemilu 2019. Meskipun survei tingkat kepuasan terhadap Jokowi mencapai 80 persen, namun hasil survei ini terasa kontradiksi di tengah himpitan ekonomi rakyat kecil. Jadi, sangat mungkin fakta riil sebaliknya.

Mencium aroma tidak sedap eksponen Partai Golkar melalui Dewan Pakar Partai Golkar mengeluarkan rekomendasi mengevaluasi kepemimpinan Airlangga Hartarto Ketum Partai Golkar.

Kecemasan Dewan Pakar Partai Golkar cukup beralasan. Lembaga Survei Indonesia (LSI) elektabilitas partai politik sampai awal Juli 2013 melansir bahwa Partai Golkar hanya 6 persen, bahkan mampu disalip Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berada di urutan ketiga setelah PDIP dan Partai Gerindra. Implikasinya Partai Golkar bisa kehilangan hampir 50 kursi di DPR dibandingkan raihan Pemilu 2019.

Jangan lupa, Pemilu 2024 dilaksanakan serentak antara pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg). Tentu figur calon presiden yang diusung memiliki coattail effect (efek ekor jas) terhadap raihan kursi legislatif.

Artinya selama ini Airlangga Hartarto selalu mengidentikan dirinya dengan Jokowi justru secara tidak langsung menguntungkan PDIP. Bukankah presiden Jokowi kader PDIP yang gamblang diberi atribut petugas partai?

Hal yang sama terjadi juga dengan Prabowo Subianto. Puja-puji berlebihan kepada presiden Jokowi ingin menunjukan loyalitas sebagai pembantu presiden memang tidak salah. Tetapi dalam konteks kepentingan Pemilu 2024 sikap Prabowo Subianto yang seolah-olah legowo tanpa disadari justru memperbesar coattail effect buat partai politik kompetitor, yaitu PDIP.

Kekeliruan kalkulasi partai politik pendukung pemerintah itu terjustifikasi oleh hasil survei Indostrategic ternyata cuma 19,3 persen dan menurut Litbang Kompas 16 persen yang memilih calon presiden ikut pilihan Jokowi.
Jika demikian, restu presiden Jokowi sekadar pepesan kosong. Tidak signifikan mendongkrak suara pada Pemilu 2024.

Waktu belum terlambat, kini yang dituntut diferensiasi platform dan program kerja partai politik yang dinilai tepat mampu mengartikulasikan kepentingan publik. Bukan semata-mata mengandalkan pencitraan, apalagi bertumpu pada figur yang sebenarnya sudah irelevan.

*(Penulis Pemerhati Kebijakan Publik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita