OLEH: SYAFRIL SJOFYAN
DALAM bulan Juni ini viral pernyataan tentang people power dan permintaan pemakzulan Jokowi di tengah masyarakat.
Awal bulan Juni beberapa tokoh nasional, ulama, purnawirawan dan para aktivis berkumpul dalam helat 26 Tahun Mega Bintang, yang diadakan oleh tokoh tua yang dikenal sejak lama Mudrick Sangidu. Beliau tokoh senior termasuk orang yang juga pernah dekat dengan Megawati.
Apa fatsalnya. Kupasan secara fakta oleh para narasumber tentang kegagalan dan pelanggaran konstitusi serta penyimpangan ideologi dari rezim Jokowi sudah sangat banyak terjadi. Sementara MPR, DPR dan MK “dikuasai” sepenuhnya oleh oligarki politik dan ekonomi.
Sehingga saluran secara linear sudah kadung tidak bisa diharapkan. Sehingga gerakan rakyat yang dikenal dengan istilah people power sebagai saluran non-linear yang menjadi pilihan. Juga konstitusional. Pernah terjadi di Indonesia.
Pada tulisan ini penulis tidak mengupas tentang banyaknya aspek yang telah dilanggar. Sudah banyak tulisan dan podcast secara rinci yang menggambarkannya. Point yang dipilih adalah tentang dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari Jokowi dan keluarganya.
Tentang hal tersebut sebenarnya data dan fakta oleh seorang dosen yang juga aktivis 98, Dr. Ubaidillah Badrun (Ubed). Pada tahun yang lalu telah disampaikan “pelaporan” kepada KPK. Belum ada kelanjutan prosesnya oleh KPK. Sepertinya “diendapkan” setelah presiden berganti.
Hanya dalam waktu sekitar tujuh tahun jadi presiden, anak-mantu Jokowi langsung menguasai bisnis dan politik. Enak hidup sebagai anak presiden, tidak perlu meniti dari bawah. Langsung loncat pada undakan tinggi.
Gibran sang anak jadi Walikota Solo. Sedangkan Bobby sang menantu Walikota Medan. Belakangan muncul pula wacana memproyeksikan Gibran jadi Gubernur Jakarta atau Gubernur Jawa Tengah. Bahkan konon Prabowo “ingin menyunting” Gibran jadi cawapresnya.
Sedangkan Kaesang sangat berambisi menjadi walikota Depok, Jawa Barat, katanya sudah direstui keluarga (Jokowi) untuk menempati posisi tersebut. Enak tenan. Anak Presiden.
Dalam bisnis pun. Tak tanggung-tanggung aset bisnis kedua anak lelaki Jokowi ini. Langsung meroket pula. Capaian ratusan miliar tidak perlu susah-susah. Kekayaan mereka tajir melintir, istilah gen Z.
CNBC Indonesia online, menyebut bisnis tersebut bergerak di sektor makanan dan minuman hingga fashion. Tidak jelas benar apakah produk-produk ini laku dan disukai oleh masyarakat. Namun supply dana ratusan miliar dengan mudah mereka dapatkan dari “partner” oligarki. Kasus ini salah satu sangkaan terjadinya money laundering yang disampaikan oleh Ubed ke KPK.
Dalam tulisannya Arief Gunawan, pemerhati sejarah yang juga wartawan senior, bahwa pada esensinya praktik dugaan KKN dinasti Jokowi ternyata lebih ganas dan merusak dibandingkan dengan dinasti Soeharto.
Ini “merupakan salah satu” alasan kenapa Jokowi harus cawe-cawe supaya selamat sekeluarga. Jika demikian sebenarnya bukan demi menyelamatkan bangsa. Tapi kepanikan.
Sejatinya Jokowi lupa dengan petitih jawa kuno “Yen urip mung isine isih nuruti nepsu, sing jenenge mulya mesti soyo angel ketemu“. Jika hidup masih dipenuhi dengan nafsu, kemuliaan hidup akan semakin sulit ditemukan.
Namun tentu sudah terlambat karena petitih berikutnya “Becik ketitik, ala ketara.” Perbuatan baik akan selalu dikenali, dan perbuatan buruk nantinya juga akan diketahui juga.
Ambisi pribadi Jokowi memanfaatkan jabatan sebagai Presiden cawe-cawe pada pemilu dan pilpres memenangkan pilihannya. Agar Jokowi dan keluarganya selamat. Harus mendapatkan perlawanan yang luas dari masyarakat. Saluran non-linear berupa people power sangat mungkin terjadi.
Ingat sejarah Soeharto jatuhnya karena KKN anak-anaknya.
(Penulis adalah pemerhati kebijakan publik, yang juga aktivis Pergerakan 77-78 dan Sekjen FKP2B.)