Oleh: Djono W Oesman*
EKSEPSI terdakwa korupsi, Johnny G. Plate pada frasa “diperintah Presiden Jokowi”, menghebohkan. Kompas online menyebut: “Johnny tabuh genderang perang.” PDIP: “Pernyataan Johnny ngawur.” Menko Polhukam, Mahfud MD menanggapi tenang.
Geger soal kalimat itu bersumber pada sidang eksepsi terdakwa korupsi mantan Menkominfo, Johnny G. Plate di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, Selasa (4/7).
Seperti diberitakan, Johnny terdakwa korupsi kasus pembangunan base transceiver station (BTS) 4G paket 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kominfo Tahun 2020 hingga 2022. Nilai kerugian negara Rp 8 triliun.
Di sidang eksepsi, penasihat hukum Johnny G Plate, Dion Pongkor, mengatakan:
"Penyediaan BTS 4G disebut (Jaksa) dengan tujuan 'merampok uang negara', apalagi dengan narasi seolah-olah terjadi peningkatan BTS 4G 2021 hingga 2024 sehingga menjadi 7.904 site untuk periode tanpa melalui kajian, padahal faktanya pengadaan BTS 4G 2021 hingga 2022 adalah arahan Presiden RI yang disampaikan dalam berbagai rapat terbatas dan rapat intern kabinet."
Dirinci rapatnya, pertama, rapat terbatas kabinet 12 Mei 2020, pukul 11.09 WIB, melalui video conference, Presiden di Istana Merdeka Jakarta tentang 'Percepatan Transformasi Digital bagi Pelaku UMKM.
Kedua, rapat terbatas kabinet 4 Juni 2020, pukul 13.36 WIB, melalui video conference, Presiden Jokowi di Istana Merdeka memimpin rapat tentang 'Peta Jalan Pendidikan Tahun 2020-2035'.
Ketiga, rapat internal kabinet 29 Juli 2020, pukul 10.57 WIB, di Istana Merdeka Jakarta tentang pengadaan program kegiatan di bidang pangan, kawasan industri, dan Information Communication Technology (ICT).
Intinya, proyek itu semua arahan Presiden Jokowi. Bukan individu Johnny Plate. Sehingga Johnny minta dibebaskan dari dakwaan korupsi tersebut. Tentunya, bebas murni.
Spontan, itu direaksi keras beberapa pihak. Apalagi, media massa Kompas online memberi judul “Johnny tabuh genderang perang”.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menyatakan, pernyataan pihak Johnny dalam sidang itu ngawur.
Pacul: "Ngawur itu…. Perintah yang mana? Apakah ada perintah yang mohon maaf, perintah, misalnya, woi… kamu lakukan korupsi…. Yo, ndak mungkin-lah. Ngawur itu.” (campuran bahasa Indonesia logat Jawa).
Media massa sebagian ikut memanasi, dengan memberi judul mirip tabuh genderangan perang, mirip Kompas. Jadinya tambah seru.
Tapi Menko Polhukam, Mahfud MD lebih santai. Mengatakan begini:
"Bahwa Pak Johnny G Plate melalui eksepsinya pada sidang hari ini di Pengadilan mengatakan, proyek BTS merupakan arahan Presiden Jokowi melalui beberapa rapat, itu memang benar adanya. Saya juga hadir dalam rapat-rapat yang ada arahan-arahan itu."
Dilanjut: "Tetapi itu arahan kebijakan yang menjadi bagian dari arahan umum untuk digitalisasi pemerintahan."
Dilanjut: "Itu adalah arahan Presiden kepada semua menteri agar mengakselerasi digitalisasi pemerintahan. Presiden Jokowi menggariskan percepatan pemerintahan berbasis elektronik (e-government). Bahkan juga mengeluarkan Perpres SPBE atau sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, yakni Perpres No 132 Tahun 2022."
Akhirnya: "Yang jelas, Presiden mengarahkan agar digitalisasi pemerintahan diakselerasi. Tetapi beliau selalu mewanti-wanti juga agar jangan korupsi dalam penggunaan anggaran negara."
Sampai di sini, semua pihak benar. Dalam arti, pernyataan semua pihak sesuai fakta. Cuma, pernyataan pengacara Johnny itu memberi umpan agar pernyataan itu diplintir (dimanipulasi) publik.
Pernyataan pengacara Johnny bukan suatu plintiran. Melainkan memberi umpan untuk diplintir. Oleh siapa pun. Bentuk plintirannya (jika muncul) bunyinya bakal begini: “O… pantas, proyek itu disuruh Presiden Jokowi.”
Kalau sudah muncul plintiran itu, bakal berlanjut begini: “Kalau begitu terdakwa tidak salah, dong. Karena ia cuma disuruh.”
Terbukti, pengacara Johnny menuntut agar terdakwa dibebaskan dari dakwaan. Sehingga, asumsi ‘umpan plintiran’ itu jadi klop (matching) dengan tuntutan bebas terdakwa. Bagai tumbu (wadah terbuat dari anyaman bambu) ketemu tutup. Klop.
Plintiran, sangat potensial muncul, karena situasi politik Indonesia sekarang tidak benar-benar stabil. Ada pihak-pihak yang berusaha keras mendiskreditkan pemerintah. Terutama ditujukan pada Presiden Jokowi. Berkali-kali. Sejak awal Jokowi jadi Presiden RI. Diawali isu, bahwa Jokowi PKI, plonga-plongo, dan seterusnya.
Psikolog Inggris, Dr Andrea M. Darcy dalam karyanya berjudul Personal Accountability, Why You Need More of It, Now?, dipublikasi di Harley Therapy, Psychotherapy & Counselling,13 Maret 2023 menyebutkan:
Menyalahkan orang lain untuk kesalahan kita, adalah seni yang bagus untuk membuat orang lain bertanggung jawab atas semua hal sulit yang terjadi pada kita. Dan, mayoritas masyarakat modern kita (di Inggris) senang menerima model begitu. Maka disebut seni yang bagus.
Dilanjut, media massa (di sana) dibanjiri cerita tentang bagaimana semua masalah masyarakat harus ditimpakan pada politisi, atau teroris. Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan untuk perbaikan masyarakat.
Gampangnya, masyarakat menyalahkan politisi (bisa juga pemegang kuasa pemerintahan) atau teroris, dan tindakan itu tidak ngefek untuk kesejahteraan masyarakat. Bukankah hidup bernegara tujuan akhirnya untuk membikin masyarakat makmur?
Menurut Dr Darcy, dalam psikologi itu disebut the self-serving bias. Bias, mementingkan diri sendiri. Dalam perspektif, orang yang punya salah tapi menyeret orang atau pihak lain masuk dalam kesalahan tersebut.
Jadi mengapa melakukannya? Darcy menyebut empat hal penyebab:
1) Menyalahkan orang lain itu mudah. Berarti mengurangi pekerjaan, karena ketika kita menyalahkan, kita tidak harus dimintai pertanggungjawaban.
2) Menyalahkan membuat kita kuat. Di sini Darcy mengutip pendapat Psikolog Amerika Serikat, Prof Casandra Brené Brown, bahwa ini soal akuntabilitas.
Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, akuntabilitas adalah pertanggungjawaban, atau keadaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Prof Brown: "Orang yang suka menyalahkan orang lain untuk kesalahan sendiri, jarang yang punya akuntabilitas."
Karena orang itu merasa, bahwa punya akuntabilitas berarti ia merasa lemah. Sebaliknya, jika orang itu tidak punya, atau minim, akuntabilitas, maka ia merasa kuat.
3) Menyalahkan orang lain untuk kesalahan sendiri, berarti orang itu pegang kendali. Sebaliknya, kalau tidak menyalahkan orang lain, berarti harus mendengarkan cerita dari sisi orang lain. Akibatnya tidak pegang kendali.
4) Menyalahkan orang lain, membongkar perasaan yang tertahan. Dengan melempar kesalahan ke orang lain, bisa melepaskan rasa sakit emosional. Yang tertahan. Dalam bahasa Indonesia, disebut lega.
Eksepsi Johnny tidak persis masuk teori Dr Darcy. Tidak klop. Tapi berada di sekitaran wilayah itu. Suatu strategi silat hukum yang cerdik.
Strategi cerdik itu ditanggapi enteng oleh Prof Mahfud, Doktor Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ia penganut istilah “gitu aja, kok repot” dari Gus Dur.
Persoalan lebih serius, kondisi politik Indonesia yang tidak sepenuhnya stabil sekarang, diketahui, dan dimanfaatkan banyak orang yang berkepentingan. Orang-orang berkepentingan itu tidak peduli, walaupun paham, bahwa politik yang stabil membuat petinggi negara lebih fokus membikin rakyat sejahtera.
Artinya, ‘orang berkepentingan’ tak peduli kesejahteraan rakyat. Mereka peduli diri sendiri. Sudah betul, menurut mereka. Rumitnya, mereka diikuti sebagian masyarakat. Kerumitan belit-membelit. Rumit-mit.
*) Penulis adalah wartawan senior