Ada 5 Kelompok Penghayat Kepercayaan di NTT: Saya Yahudi, Tapi di KTP Islam

Ada 5 Kelompok Penghayat Kepercayaan di NTT: Saya Yahudi, Tapi di KTP Islam

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Para penganut agama minoritas di Indonesia berharap pemerintah Indonesia segera mengakui keberadaan mereka, sehingga bisa mengisi kolom agama di kartu identitas kependudukan (KTP) sesuai dengan keyakinannya.

Alasannya, tanpa pengakuan dari negara, mereka mengaku mengalami diskriminasi di ruang publik dan tidak bisa leluasa menunjukkan identitas diri. Itu sebabnya mereka terpaksa mencantumkan salah satu agam yang telah diakui negara di KTP.

Seperti yang dialami Ezra Abraham, penganut Yahudi di Cirebon, Jawa Barat.

Dia bercerita di kolom agama KTPnya, dia memilih mencantumkan agama Islam dan hal itu disebutnya “seperti membohongi diri sendiri”. Tapi dia tak punya pilihan lain demi alasan “keamanan dan bisa mendapatkan layanan umum”.

“Karena agama di KTP adalah Islam, mau tidak mau saya harus ikut acara-acara muslim. Jadi kadang ngebunglon, rasanya membohongi diri sendiri,” ujar Ezra seperti dikutip SERGAP dari BBC News Indonesia, Rabu (5/7/23).

Ezra sebetulnya lahir dari keluarga muslim. Tapi pada 2011, dia memutuskan memeluk Yudaisme yang juga dianut oleh nenek dari garis keturunan ayahnya.

Ketika mengurus KTP pada tahun 2016 lalu, Ezra pernah berencana untuk mengosongkan kolom agama. Hanya saja niat itu batal setelah mendapat saran dari teman-temannya. Saat itu, katanya, warga negara yang mengosongkan kolom agama dicap sebagai penganut ateisme dan rentan mengalami tindakan diskriminasi.

“Saya Yahudi, di KTP Islam. Untuk menghindari diskriminasi,” ucapnya.

“Saya khawatir keluarga di rumah bisa kena persekusi, apalagi Yahudi kurang bisa diterima di Indonesia”.

“Tahun 2009 atau 2010 sinagoge Yahudi di Surabaya ditutup oleh kelompok intoleran. Persekusi semacam itu bisa saja terjadi lagi, kalau ada kejadian buruk di Timur Tengah pasti ribut di sini,” tutur Ezra.

Ia menyadari untuk bisa mencantumkan agama yang dianutnya sesuai dengan di KTP tidaklah mudah. Itulah kenapa dia menilai, pencantuman agama Islam di KTPnya hanya sebatas formalitas untuk keperluan administrasi.

“Saya sudah bisa memisahkan apa yang saya percaya dengan apa yang ada di kartu identitas. Jadi biasa saja, meskipun kalau keinginan [untuk mencantumkan agama Yahudi di KTP] tetap ada.”

Di Indonesia, menurut beberapa laporan, ada 500 orang pemeluk Yudaisme. Beberapa orang Yahudi ada yang mengisi kolom agama di KTP dengan Penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lainnya dilaporkan menyebut sebagai Kristen.

Sementara penganut Sikh di Jakarta, Harkirtan Kaur, mencantumkan agama Hindu di kolom agama KTPnya seperti sebagian besar komunitasnya.

Dari cerita orangtuanya, pemeluk Sikh memilih Hindu di kartu identitas kependudukan, karena faktor kultural yang sama-sama berasal dari India.

“Karena dulu orang-orang India yang ke Indonesia sebagian besar beragama Hindu. Setelah itu agama dari India yakni Hindu yang diakui negara. Karena dari asal yang sama, akhirnya membuat pendahulu-pendahulu Sikh mencantumkan agama Hindu,” jelas Harkirtan kepada BBC News Indonesia.

Namun demikian, kata Harkirtan, ada pergulatan batin lantaran mencantumkan sesuatu yang bukan identitas dirinya.

“Tentunya identitas atau jati diri kita tidak bisa diwujudkan dengan baik. Kami masih harus di bawah naungan sebuah entitas tertentu, di mana entitas itu bukan kami. Sikh bukan bagian dari Hindu,” tegasnya.

Lebih dari itu pemahaman orang-orang kerap keliru terhadap pengikut Sikh karena tidak memahami ajaran agama tersebut beserta atribut yang biasa dikenakan.

Suatu kali pernah terjadi tindakan diskriminasi. Dua orang kakak beradik penganut Sikh sempat dilarang menaiki transportasi MRT hanya karena memakai kirpan atau sejenis pisau kecil yang merupakan lambang komitmen Sikh yang sudah menjalani ritus inisiasi atau baptisan.

Ketidaktahuan petugas MRT itu, sambungnya, menganggap kirpan adalah senjata tajam.

“Petugas itu kekeuh menyuruh mereka melepas atribut tersebut.”

Persoalan lain, bagi orang Sikh, ada larangan memotong rambut. Tapi karena ada kekhawatiran diejek maka banyak pria dan perempuan Sikh yang memangkas rambut mereka. Sebab kalau mempertahankan pantangan itu, bakal dibuli oleh teman-teman di lingkungan sekitar.

“Misalnya yang pakai turban kadang diledekin di sekolah.”

Itu mengapa Harkirtan Kaur ingin suatu saat bisa mencantumkan agama Sikh di KTPnya. Setidaknya dengan begitu pengetahuan orang-orang terhadap orang Sikh tidak keliru dan tak lagi berlaku diskriminasi.

Untuk diketahui pengikut Sikh di Indonesia disebutkan berkisar 15.000 orang.

Dirjen Dukcapil Kemendagri, Teguh Setyabudi, mengatakan penganut agama minoritas yang belum diakui secara resmi oleh negara bisa mengisi kolom penghayat kepercayaan selama mereka mau dikategorikan sebagai Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Ya, di Indonesia, selain terdapat enam agama resmi yang diakui negara, ada agama-agama minoritas yang disebut dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, sebagai “non-recognize religion” namun dihormati keberadaannya seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme, Baha’i, dan Sikh.

Direktur Eksekutif LSM Setara Institute, Halili Hasan, menjelaskan pencantuman kolom agama di kartu identitas kependudukan dimulai pada masa Orde Baru sebagai mekanisme tertentu untuk bisa mengidentifikasi warganya.

Kendati sesungguhnya, menurut Halili, kolom agama di KTP tidak punya fungsi apa pun.

“Kalau tidak ada kolom agama justru lebih clear. Orang diidentifikasi bukan sebagai pemeluk agama tertentu, tapi sebagai warga negara yang wajib dijamin hak-haknya,” ucapnya.

Tapi ketika ada pencantuman kolom atas dasar agama, tindakan diskriminasi mulai terjadi.

Kelompok agama mayoritas, sambungnya, akhirnya memberlakukan larangan bagi penganutnya dan pengikut agama lain. Semisal melarang perkawinan beda agama.

“Harusnya soal perkawinan, tidak apa-apa beda agama. Negara tidak bisa mengintervensi itu.”

Kalau merujuk pada pasal 29 ayat UUD 1945, negara semestinya mengakui agama dan kepercayaan yang dianut warga negara.

“Karena tertulis di ayat itu negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.”

Hanya saja, keberadaan UU nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, disebutnya justru membatasi kebebasan beragama ketika istilah blasphemy atau penghinaan tercantum di beleid itu.

Pasalnya di UU tersebut hanya ada enam agama yang diakui secara resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan KongHu Cu.

Agama atau kepercayaan di luar dari itu, berpotensi dituduh sebagai penghinaan jika ajarannya tidak sesuai dengan ajaran agama mayoritas.

Akan tetapi, menurut Halili, harapan atas pengakuan negara terhadap agama-agama minoritas terbuka begitu Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (KUHP) berlaku pada 2026.

“UU KUHP yang baru menghapus ketentuan lain yang diatur di KUHP lama, termasuk soal penodaan agama. Sehingga UU PNPS mestinya tidak berlaku lagi dan seharusnya tidak ada kendala bagi negara untuk memberikan perlindungan pada kelompok ini.”

“Jadi secara langsung mengacu pada pasal 29 UUD 1945. Tidak ada lagi agama resmi dan tidak resmi.”

“Tinggal bagaimana negara membuat aturan turunan, di bawah UUD, dengan mengacu pasal 29 ayat 2.”

Bagi Halili itu adalah satu-satunya jalan. Sebab pilihan mengosongkan kolom agama hanya akan “memicu stigma baru sebagai penganut ateisme”.

Tanggapan Pemerintah

Dirjen Dukcapil Kemendagri, Teguh Setyabudi, mengatakan berdasarkan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) 1 dan 5 diatur bahwa keterangan tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan, tidak diisi tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Dengan demikian ‘Penghayat Kepercayaan’ tidak dicantumkan dalam kolom agama di KK dan KTP. Namun tetap dilayani dan dicatat dalam basis data kependudukan.

Tetapi merujuk pada gugatan uji materi terhadap pasal 61 dan pasal 64 UU Adminduk ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengosongan kolom agama, dianggap menyebabkan diskriminasi.

“Dengan putusan MK itu, MK mengabulkan gugatan uji materi penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah.”

“Status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom KK dan KTP elektronik sebagai ‘penghayat kepercayaan’ tanpa merinci kepercayaan yang dianut.”

Khusus bagi agama seperti Sikh atau Yahudi, kata Teguh, bisa dicatat sebagai penghayat kepercayaan sepanjang mereka mau agamanya dikategorikan sebagai penghayat dan terdaftar di Kemendikbud.

Berdasar data Kemendikbud pada tahun 2017, terdapat 187 kelompok penghayat kepercayaan yang tersebar di 13 provinsi di Indonesia. Rinciannya: Sumatera Utara 12 kelompok, Riau 1, Lampung 5, Banten 1, DKI Jakarta 14, Jawa Barat 7, Jawa Tengah 53, Jogjakarta 25, Jawa Timur 50, Bali 8, Nusa Tenggara Barat (NTB) 2, Nusa Tenggara Timur (NTT) 5, dan Sulaweasi Utara 4.

Sumber: sergap
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita