Tolak Permohonan, MK Sebut Sistem Pemilu Terbuka Lebih Demokratis, Tapi Membuka Praktik Politik Uang

Tolak Permohonan, MK Sebut Sistem Pemilu Terbuka Lebih Demokratis, Tapi Membuka Praktik Politik Uang

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Sistem proposional terbuka tetap berlaku dalam Pemilu 2024 mendatang. Hal itu setelah 
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait uji materi atau judicial review soal sistem pemilu yang diajukan enam orang pemohon.

Putusan sidang terkait gugatan sistem pemilu itu dibacakan langsung Ketua MK Anwar Usman di MK, Kamis (15/6). 

“Menolak permohonan provisi para pemohon,” kata Anwar Usman seperti dikutip dari Suara.com, Kamis.


“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” sambungnya.

Dalam sidang putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebut jika sistem pemilu proporsional terbuka lebih demokratis. 

Dia pun mencontohkan, calon anggota legislatif harus berusaha memperoleh suara sebanyak mungkin agar dapat memberoleh kursi.


“Hal ini mendorong persaingan yang sehat antara kandidat dan meningkatkan kualitas kampanye serta program kerja mereka,” kata Suhartoyo.


Selain itu, sistem proporsional terbuka juga memberikan kebebasan bagi pemilih untuk menentukan calon legislatif yang dipilihnya tanpa terikat nomor urut yang ditetapkan partai politik.

“Hal ini memberikan fleksibilitas pemilih untuk memilih calon yang mereka anggap paling kompeten atau sesuai dengan preferensi mereka,” ujar Suhartoyo.

Lebih lanjut, dia menyebut proporsional terbuka memungkinkan para pemilih berkesempatan untuk melibatkan diri pada tindakan dan keputusan anggota legislatif.

“Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem politik termasuk meningkatkan partisipasi pemilih,” tambah dia.

Kemudian, Suhartoyo menyebut proporsional terbuka lebih demokratis karena representasi politik didasarkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau calon sehingga memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai atau calon legislatif.


Di sisi lain, Suhartoyo menjelaskan kekurangan dari sistem pemilu proporsional terbuka seperti memberikan peluang terjadinya politik uang.

“Keberadaan modal politik yang besar ini dapat menjadi hambatan bagi kandidat dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah,” ucap dia.

Selain itu, proporsional terbuka juga dinilai mereduksi peran partai politik dan membuka kemungkinan adanya jarak antara anggota calon legislatif dengan partai politik.

“Kelemahan lainnya adalah pendidikan politik oleh partai politik yang tidak optimal, di mana partai politik cenderung memiliki peran yang lebih rendah dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilik,” tutur Suhartoyo.

“Akibatnya, partai politik menjadi kurang fokus dalam memberikan informasi dan pemahaman yang mendalam tentang isu isu politik kepada pemilik," katanya. 

MK sebelumnya, telah menerima permohonan uji materi atau judicial review terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.


Keenam orang yang menjadi Pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS.

Sumber: suara
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita