OLEH: SUTRISNO PANGARIBUAN*
BEBERAPA waktu yang lalu, Ketua DPP PDIP Bidang Politik Puan Maharani menyebutkan ada 10 nama yang masuk radar bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Ganjar Pranowo. Dari 10 nama itu, salah satunya nama Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Hal tersebut disampaikan Puan dalam konferensi pers usai agenda kedua dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (6/6).
Kemudian Demokrat merespons masuknya nama AHY dalam radar PDIP sebagai cawapres Ganjar Pranowo. Deputi Balitbang Demokrat, Syahrial Nasution menegaskan partainya masih setia mendukung Anies Rasyid Baswedan di Pilpres 2024.
Meski demikian, Syahrial mengapresiasi pernyataan Puan sebagai kejutan dan kabar baik. Sebab pernyataan Puan diyakini telah melewati penggodokan dan pertimbangan yang matang, sebelum disampaikan PDIP ke publik.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan Sekjen Demokrat Teuku Riefky Harsya bertemu dan berbincang di sebuah rumah makan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Minggu (11/6). Hasto mengaku dalam pertemuan tersebut dibahas berbagai hal. Salah satunya terkait sistem pemilu hingga rencana pertemuan antara Puan dengan AHY.
Pertemuan pendahuluan kedua sekjen partai, sebagai perintis jalan bagi pertemuan putri dan putra mahkota, pemilik partai yang sama-sama pernah berkuasa, dan tinggal di Istana Negara.
Atas inisiasi dan fasilitasi kedua sekjen partai, akhirnya Puan dan AHY bertemu sambil makan bubur ayam di Plataran Hutan Kota Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, Minggu (18/6), usai olahraga pagi.
Puan memulai jalan paginya dari Jalan Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta. Sedangkan, AHY berjalan pagi dari Sudirman-Thamrin, Jakarta. Puan menggunakan pakaian hitam, sedangkan AHY menggunakan pakaian biru gelap.
Dalam pertemuan tersebut, Puan mengatakan PDIP berencana membangun komunikasi yang lebih intens dengan para elite politik. Ada keinginan bersama untuk membangun bangsa dan negara.
Puan berharap bahwa Pemilu 2024 adalah pemilu damai, pemilu yang gembira, pemilu yang bisa membuktikan bahwa pesta demokrasi itu adalah pestanya seluruh rakyat Indonesia.
Puan juga mengaku bahwa AHY menginginkan hubungan Demokrat dan PDIP lebih harmonis. Keduanya sepakat memulai hubungan "kakak- adik", dan akan bertemu kembali.
Sementara AHY mengaku, pertemuan tersebut merupakan salah satu bentuk agenda politik untuk membahas isu kenegaraan dan dinamika politik bersama PDIP.
Pertemuan tersebut bukan hanya sekadar gimmick politik, tetapi juga sesuatu yang penting dan substansial. AHY menyebut Demokrat dan PDIP memiliki jejak riwayat yang sama dalam kancah perpolitikan Indonesia. Salah satunya, mereka sama-sama pernah menjadi ruling party atau partai penguasa dan juga sebagai partai oposisi.
Meski diakui sebagai pertemuan politik plus makan bubur ayam, sesungguhnya tidak ada hal baru, maupun hal strategis yang dibahas Puan dan AHY.
Komitmen untuk menjadikan pemilu damai, menggembirakan sejatinya menjadi kewajiban dari semua peserta pemilu. Namun pertemuan tersebut sedikit menarik karena dua hari sebelumnya, Jumat (16/6), Demokrat kubu AHY baru saja meluncurkan aksi "Demokrat Berdarah" di Kantor DPP Demokrat, Jakarta.
Aksi pembubuhan cap jempol darah dan tanda tangan pada kain putih oleh pengurus, kader, dan simpatisan Demokrat tersebut, sebagai deklarasi kesetiaan kepada AHY melawan upaya hukum PK Moeldoko di Mahkamah Agung.
Bagi Kongres Rakyat Nasional (Kornas), pertemuan Puan dan AHY adalah pertemuan biasa, dengan arah dan tujuan yang tidak jelas. Pertemuan biasa menjadi luar biasa bagi kubu AHY di tengah polemik Partai Demokrat.
Kubu AHY justru mendapatkan keuntungan besar di tengah kegalauan akibat PK Moeldoko di MA. Pertemuan tersebut menjadi bukti bahwa PDIP dan Jokowi benar-benar tidak ikut "cawe- cawe" dalam sengketa Demokrat.
Kepiawaian Puan terbukti dengan berhasil memancing AHY yang hingga saat ini tidak mendapat kepastian dari Anies Baswedan. Ancaman evaluasi dukungan dari kubu AHY terhadap Anies Baswedan jika bacawapres tidak ditetapkan hingga akhir Juni 2023 sebagai isyarat bahwa Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) saat ini terancam bubar.
Maka jika akhirnya KPP bubar, itu bukan karena pengaruh pihak luar, namun bersumber dari rapuhnya ikatan "piagam deklarasi" KPP sendiri.
Pertemuan putri dan putra mahkota pemilik partai tersebut sama sekali tidak menyentuh materi kebutuhan dan kepentingan, rakyat, bangsa, dan negara. Puan dan AHY hanya sedang beromantika sebagai sesama putri dan putra dari orangtua yang keduanya pernah bekerjasama dalam istana.
Jika kemudian ada kesepakatan kerja sama politik di antara kedua partai pun, pasti hanya terkait kepentingan kekuasaan kedua keluarga besar mereka, bukan kepentingan rakyat.
Klaim atas pentingnya pertemuan Puan dan AHY sehingga ditunggu oleh banyak pihak tidak terbukti. Publik tidak peduli dengan pertemuan tersebut karena tidak mendapat asupan informasi penting, dan bermanfaat.
Pertemuan yang disertai oleh petinggi kedua partai tidak lebih dari reuni antara kakak dan adik kelas. Publik justru menilai bahwa pertemuan Puan dan AHY sebagai bukti bahwa semua parpol lebih mengutamakan kepentingan pragmatis dan oportunis.
Pengakuan AHY terkait adanya pertikaian politik PDIP dan Demokrat selama dua dekade semakin memperkuat keyakinan publik bahwa pertemuan tersebut hanya untuk kepentingan politik keluarga besar Megawati dan SBY.
Selanjutnya, pertemuan lanjutan antara Puan dan AHY diharapkan akan membahas masalah penting seperti pemberantasan politik uang, dan politisasi identitas berbasis SARA, serta eksploitasi ikatan-ikatan primordial dalam Pemilu 2024. Puan harus membantu AHY agar terus bertahan dalam KPP, sehingga KPP tetap dapat mengajukan pasangan calon di Pilpres 2024.
Bagi Kornas, parpol sebagai lembaga milik publik harus terus diingatkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam demokrasi ada di tangan rakyat. Maka kekuasaan eksklusif dan "perasaan milik pribadi dan keluarga" dalam parpol harus dihentikan.
*(Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)