Pendapatan Negara Melonjak tapi BMM dan Pajak Dinaikkan, Ekonom: Tak Beda dengan Kebijakan Kolonial

Pendapatan Negara Melonjak tapi BMM dan Pajak Dinaikkan, Ekonom: Tak Beda dengan Kebijakan Kolonial

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Ekonom senior, Anthony Budiawan punya catatan kritis atas kebijakan ekonomi era Presiden Jokowi. Ketika penerimaan negara menjulang karena tingginya harga komoditas, rakyat kecil malah dicekik dengan kenaikan harga BBM dan PPN.

Pemerintah mendapat limpahan berkah karena harga komoditas ekspor seperti minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), batu bara melonjak, sayangnya tidak mengalir ke rakyat kecil. Netes pun tidak. Bahkan, beban wong cilik makin berat karena pada 2022, Presiden Jokowi mengerek pajak pertambahan nilai (PPN), dan bahan bakar minyak (BBM).

“Ini sangat ironi, di tengah kenaikan pendapatan negara yang sangat tinggi, akibat kenaikan harga komoditas andalan ekspor Indonesia, yang notabene adalah milik rakyat, pemerintah malah membebani rakyat dengan menaikkan pajak pertambahan nilai dan harga BBM pada September 2022,” papar Managing Director at Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu, Jakarta, Rabu (28/6/2023).

Sepanjang 2022, Anthony mencatat adanya kenaikan atas pendapatan negara sebesar 31 persen dibandingkan 2021. Namun, nasih wong cilik semakin nelangsa saja. Beban hidupnya tambah berat dengan keputusan Jokowi mengerek pajak pertambahan nilai (PPN), dari 10 persen menjadi 11 persen, pada 1 April 2022.

Tidak berhenti di situ, pemerintah juga menaikkan harga BBM pada awal September 2022. Tidak tanggung-tanggung, harga Pertalite dikerek 30,7 persen, dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, dan solar naik 32 persen, dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter. “Akibatnya, kebijakan pemiskinan ini, membuat tingkat kemiskinan naik,” ungkapnya.

Kebijakan pemerintah anti-kesejahteraan tersebut di atas, menurut Anthony, tidak beda dengan kebijakan pemerintahan kolonial yang gemar memiskinkan rakyat Indonesia.

Sedangkan windfall profit dari kenaikan berbagai harga komoditas hanya dinikmati oleh segelintir orang di lingkaran elit politik dan oligarki, yang berperilaku bagaikan penjajah, yang dikritik keras oleh Dewan Rakyat, Volksraad, dan para pejuang bangsa Indonesia di masa penjajahan.

Kondisi saat ini bahkan lebih buruk dari masa penjajahan. Dewan Rakyat di masa penjajahan membela kepentingan rakyat, tanpa kenal takut. Sedangkan Dewan Rakyat saat ini menjadi bagian dari penguasa, menjadi antek penguasa dan oligarki, yang turut berperan aktif memiskinkan rakyat bangsanya sendiri.

“Oleh karena itu, seperti pernyataan Otto Iskandardinata, anggota Volksraad di masa penjajahan, Anda semua wajib mundur. Sukarela atau dipaksa. Pilihan ada di tangan Anda,” pungkasnya.

Sumber: inilah
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita