GELORA.CO - Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, membantah tudingan penghapusan mandatory spending yang akan dilakukan, lantaran Indonesia tak memiliki uang alias bokek. Salah satu belanja wajib (mandatory spending) yang akan dihapuskan itu, adalah anggaran kesehatan sebesar minimal 5 persen dari APBN.
"Nih gue kasih bocoran. Negara kita itu TIDAK PUNYA UANG. Ada alasan kenapa Tukin [Tunjangan kinerja] PNS tidak naik, mandatory spending dihapus, menyerahkan semua guru dan nakes [Tenaga kesehatan] ke mekanisme pasar. ITU KARENA TIDAK ADA UANG," tulis akun twitter @MorphoMenelausX, dikutip Minggu (25/6).
Menurutnya, alokasi anggaran untuk belanja wajib itu dialihkan ke proyek-proyek infrastruktur besar, yang dia nilai tidak penting. Selain jalan tol, juga Ibu Kota Negara (IKN) dan kereta cepat.
"Uangnya lari untuk spending yang tidak penting. IKN-KC. Mereka dulu anggap tol itu bisa rangsang kenaikan pertumbuhan daerah, tapi nyatanya ya tol sepi. di weekdays tol itu super sepi kalau di lebaran doang rame. Pada akhirnya jadi beban negara," tulis dia lagi.
Stafsus Sri Mulyani Bantah Negara Bokek
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, membantah anggapan bahwa Indonesia tak punya uang alias bokek.
"Negara bokek nggak punya uang? Keliru! Saya jawab tuduhan ini dengan data dan fakta. Saya akan bahas tuntas konsep mandatory spending di kebijakan penganggaran yang kita anut," tulis Prastowo dalam cuitannya di akun twitter pribadinya.
Prastowo mengatakan, mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending adalah memberi kepastian alokasi anggaran untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.
Dalam kebijakan fiskal Indonesia, sebut Prastowo, besaran mandatory spending diatur sebesar 20 persen dari APBN/APBD untuk pendidikan yang merujuk pada Pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Sementara 5 persen dari APBN di luar gaji untuk kesehatan diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2009.
"Pada pelaksanaan APBN TA 2022, meskipun Pemerintah melakukan realokasi anggaran serta melakukan perubahan rincian APBN melalui Perpres 98/2022, Pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga alokasi mandatory spending sesuai amanat UU," tulis Prastowo.
Berdasarkan hal tersebut, pada APBN 2022 anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp 621,28 triliun. Sementara untuk anggaran kesehatan dialokasikan sebesar Rp 255,39 triliun.
Berdasarkan laporan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) 2022 yang baru dirilis, menyebutkan bahwa realisasi anggaran pendidikan TA 2022 sebesar Rp 480,26 triliun atau 77,30 persen dari yang dianggarkan. Sementara, anggaran kesehatan sebesar Rp 188,12 triliun atau terealisasi 73,66 persen.
"Dengan demikian, melihat komitmen pemerintah selama ini dalam memenuhi mandatory spending demi melaksanakan amanat UU, prematur untuk menyebut pemerintah menghapus mandatory spending, apalagi karena bokek," ujar Prastowo.
Prastowo menekankan bahwa semangat pemerintah untuk mempertajam dan memastikan agar terjamin kesinambungan pendanaan melalui Rencana Induk Kesehatan (RIK). Dengan konsep baru itu, ia mengatakan alokasi anggaran kesehatan justru melebihi 5 persen APBN sebagaimana mandatory spending saat ini.
Netizen Bedah Anggaran IKN hingga Belanja Pegawai
Merespons bantahan Yustinus Prastowo, akun twitter @MorphoMenelausX pun menyodorkan sejumlah argumen dan data. Termasuk soal alokasi anggaran untuk IKN, kereta cepat, hingga belanja pegawai pemerintah.
Menurutnya, di APBN 2023 defisit anggaran sudah kembali dipatok tak boleh melebihi 3 persen dari PDB. Sementara di 2022 atau pasca-pandemi, defisit fiskal sudah 2,38 persen, angka itu jauh menurun dibandingkan 2021 yang sebesar 4,57 persen akibat lonjakan belanja terkait pandemi COVID-19.
"Apa artinya dalam bahasa umum? Artinya adalah anggaran akan diefisiensikan dari setiap pintu pengeluaran yang ada. Bahasa mudahnya adalah saving, cut cost, cut spending, agar ini defisit enggak lebih dari 3 persen PDB," tulisnya.
Padahal pada saat yang sama, ujar dia, pemerintah menjadikan pembangunan IKN dengan anggaran total Rp 466 triliun dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dengan alokasi APBN Rp 21,6 triliun sebagai program prioritas.
"Perlu diingat tentunya anggaran pembangunan proyek tersebut tidak akan tumplek-blek langsung di muka. Tentunya pasti pembayaran akan bertahap setiap tahun sesuai dengan yang dialokasi anggaran di dalam APBN," paparnya.
Di tengah defisit fiskal yang dikunci di posisi 3 persen PDB itu, anggaran belanja pegawai pemerintah di APBN juga meningkat pesat. Yakni karena adanya rekrutmen PNS baru, kenaikan gaji PNS, serta kenaikan tunjangan kinerja (Tukin) di sejumlah kementerian/lembaga.
"Dikarenakan kondisi enggak menentu dan juga lagi menekan cost karena maksimum defisit 3 persen, sehingga maksimum anggaran-nya cuma segitu. Ya pada akhirnya ada yang harus tidak diprioritaskan," pungkasnya.
Sumber: kumparan