OLEH: ADIAN RADIATUS
HAMPIR satu bulan ini bergulir istilah cawe-cawe yang secara sederhana berarti ikut campur urusan (orang) lain (yang bukan urusannya). Sayangnya keriuhan di Tanah Air tentang hal ini adalah terkait sepak terjang Joko Widodo alias Jokowi, yang entah dalam posisi pribadi atau sebagai presiden republik ini.
Jokowi tampak begitu sibuk terkait urusan capres penggantinya kelak setelah purnatugas sebagai presiden ketujuh RI. Urutan presiden yang paling penuh kontroversi dan cenderung penuh kesan negatif di berbagai segmen kehidupan rakyat sepanjang kepemimpinannya.
Tentu saja Jokowi memiliki intuisi dan informasi valid di balik model dan cara dirinya mengurus rakyat, bangsa, dan negara ini.
Oleh karena itu, mudah sekali menganalisis terkait mengapa adanya upaya wacana tiga periode hingga perpanjangan masa jabatan adalah ambisi dirinya yang amblas dikaitkan dengan cawe-cawe, yang akhirnya diakuinya walau dengan argumen agar 'secara positif' dimaknainya.
Jokowi sepertinya menyadari mayoritas rakyat, baik secara terus terang maupun berdiam kata, jelas kecewa dan tak lagi menginginkan kepemimpinannya.
Hal ini disebabkan demikian banyaknya masalah tata kelola pemerintahan yang menggores perasaan rakyat namun hanya dapat membisu, kecuali kaum aktivis dan mereka yang peduli berani mengungkapkannya. Untung rakyat ada media sosial.
Kalau saja instrumen lembaga politik kenegaraan berlangsung dengan baik dan benar dalam memegang teguh sumpah pengabdiannya pada bangsa dan negara, niscaya sudah jauh hari tak lagi turut serta mengurus negeri ini sebagai pucuk pemimpinnya. Jokowi tenang di permukaan namun bergejolak di baliknya.
Sebab jelas cawe-cawenya hanyalah kepanjangan upaya penyelamatan diri atas kegagalan jurus tiga periode dan jurus menambah waktu berkuasanya.
Mirisnya, yang jadi tumbal penyimpangan tata etika moral kenegaraan ini adalah lembaga kepresidenannya sendiri. Sesuatu yang sejak kepemimpinan nasional bergulir hingga presiden keenam berjalan secara elegan dan sangat terhormat di mata rakyat.
Cawe-cawe Jokowi bahkan memberi kesan adanya sikap dualisme, kalau tidak mau disebut munafik atau naif. Di mana saat depan Megawati bahasa dukung Ganjar begitu gagah, sementara di lain kesempatan sangat bermanis kata dukungan ketika bersama Prabowo.
Kecuali Anies yang sangat terasa dibencinya, karena mungkin selama lima tahun pamor Gubernur Anies lebih berkelas dibanding Presiden Jokowi. Mungkin saja.
Maka tanpa harus menjelaskan secara 'Lemhanas' bagaimana sebuah pergantian demokrasi atas kepemimpinan bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan secara berlebihan, apalagi bila telah meninggalkan jejak-jejak kemajuan bagi bangsa ini. Sehingga Jokowi jangan sampai menempatkan kepresidenannya di titik paling nadir lewat cawe-cawe yang terkesan buruk itu.
(Penulis adalah pemerhati sosial politik)