Oleh: Dian Fitriani*
DERETAN kontroversi Ponpes Al Zaytun tak berhenti pada peristiwa Shalat Ied pada Hari Raya Idul Fitri yang sempat viral pasca lebaran 2023 silam sejalan dengan beberapa ajaran yang dinilai keliru bahkan sesat.
Video yang tersebar di media sosial tentang tata cara pelaksanaan Shalat Ied yang tak umum di Ponpes Al Zaytun ternyata berbuntut panjang, disusul pula video viral yang menampilkan lantunan lagu Yahudi yang dinyanyikan oleh pimpinan Ponpes Al Zaytun.
Video yang tersebar di media sosial tersebut menampilkan lantunan lagu Havenu Shalom Aleichem yang dinyanyikan oleh Panji Gumilang selaku Pimpinan Ponpes Al Zaytun pada acara tadarus Al Quran sekaligus memperingati satu suro, Panji mengajak hadirin yang terdiri dari para santri dan tamu undangan untuk melantunkan lagu rohani Yahudi yang berjudul Havenu Shalom Aleichem, di tengah riuh acara tersebut terdapat Lucky Hakim yang saat itu masih menjadi Wakil Bupati Indramayu.
Tak cukup sampai di situ, ajaran-ajaran yang menyimpang lainnya mulai terbongkar. Dalam video lain terdapat pernyataan Panji mengenai syariat haji dan umrah yang tidak harus ke Masjidil Haram, melainkan bisa dilaksanakan di Indonesia lantaran Indonesia merupakan tanah suci.
Menyusul pula video yang menampilkan pidato Panji yang menyatakan bahwa masjid yang sebenarnya berada di Vatikan, sementara masjid-masjid yang di Indonesia hanyalah tempat orang-orang yang berputus asa.
Ia juga menambahkan bahwa masjid hanyalah tempat untuk pungutan uang. Pasalnya, ia menyoroti banyaknya kotak amal yang tersebar di masjid-masjid. Jemaah dipaksa untuk mengisi kaleng (kotak amal).
Tak cukup sampai di situ, di kesempatan yang lain Panji juga mengatakan bahwa Al Quran bukanlah Kalam Allah SWT melainkan Kalam Rasulullah SAW atau karangan Rasulullah SAW.
Alasannya Allah SWT tidak mungkin berbahasa arab, ia kemudian mengatakan bahwa Allah menggunakan bahasa antah-berantah yang kemudian diterjemahkan dengan bahasa arab oleh Nabi Muhammad SAW.
“Kalau Allah berbahasa arab susah nanti ketemu orang Indramayu," pungkas Panji.
Panji yang juga mengaku komunis ini menarik sorotan publik cukup deras. Polemik ini tidak hanya menyinggung penganut agama Islam akibat dari kesesatan ajarannya, melainkan juga sosok yang perlu diusut akibat dari kasus pencabulan yang menyangkut dirinya juga pemecatan sebanyak 116 guru tanpa pesangon pada 2017 silam.
Di tengah riuh kontroversi Ponpes Al Zaytun, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Jenderal TNI Moeldoko memberi tanggapan saat menghadiri Rakernas V Pergunu, di Alun-alun Leuwimunding Kabupaten Majalengka pada Sabtu (17/6).
Biasa saja, tak ada yang ditanggapi, bahkan dirinya menyanjung Panji Gumilang pimpinan Ponpes Al Zaytun dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Panji merupakan cara untuk membangun karakter kebangsaan yang kuat. Ia bahkan mengaku beberapa kali mengunjungi Ponpes Al Zaytun Indramayu.
Namun, masyarakat tidak tinggal diam di tengah deretan kontroversi Ponpes Al Zaytun, selain deras tuntunan netizen, masyarakat terutama warga Indramayu melakukan unjuk rasa terhadap deretan ajaran sesat Ponpes Al Zaytun.
Pada kamis (15/6) unjuk rasa dari ribuan warga yang tergabung dalam Forum Indramayu Menggugat (FMI) memenuhi depan gerban Ponpes Al Zaytun.
Uniknya sejumlah massa Ponpes Al Zaytun juga dikerahkan untuk menyambut pendemo bersamaan dengan spanduk putih yang terpasang di tiang listrik depan gerbang Ponpes Al Zaytun bertuliskan kalimat sambutan yang berbunyi:
“SELAMAT DATANG PARA PENDEMO DARI FMI KAMI SAMBUT ANDA DENGAN 10.000 PENYAMBUT. BILA KALIAN BERLAKU DAMAI, KAMI AKAN TEPUK TANGAN UNTUK ANDA SEMUA. BILA SEBALIKNYA, JANGAN TANYA APA YANG TERJADI.”
Panji Gumilang mengenakan jas dan kaca mata hitam dilengkapi peci hitam dengan tegas memerintahkan polisi untuk mengamankan para pendemo. Ia juga mengaku ingin menyambut para pendemo dan ingin melihat siapa saja yang berdemo.
“Amankan saja yang hari ini mau mendemo,” perintahnya.
Panji Gumilang mengatakan, ponpes yang dipimpinnya itu adalah aset nasional. Ia juga seorang nasionalis. Mengisyaratkan perlu dijaga oleh aparat.
Koordinator massa Ponpes Al Zaytun mengomandoi untuk menyanyikan lagu berbahasa Ibrani, mengiringi massa unjuk rasa, sejumlah massa Ponpes Al Zaytun juga menari ringan seraya mengayunkan tangan.
Di samping itu, Kapolres Indramayu, AKBP M Fahri Siregar mengatakan, pihaknya menerjunkan sebanyak 1.200 personel. Polres Indramayu juga dibantu oleh Korps Brimob Polda Jabar dan para Polres tetangga juga turut dikerahkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa.
Berdasarkan deretan fenomena yang menyimpang dan menggelitik akal sehat yang telah dipaparkan di atas sebetulnya, kita pun akan bertanya-tanya “ada apa di balik Ponpes Al Zaytun?”
Jika melihat bagaimana respons aparat yang seolah berpihak bahkan melindungi Ponpes Al Zaytun dari aksi massa, kemudian sanjungan dan tanggapan yang santai dari Jenderal TNI Moeldoko memberi isyarat bahwa ada tangan penguasa di balik semua kejanggalan dan penyimpangan yang terjadi di Ponpes Al Zaytun.
Sejalan dengan kegundahan penulis, hal ini juga diungkap oleh Sekretaris Eksekutif SAS Institute Abi Rekso yang menilai bahwa ada maksud politik dari sejumlah kontroversi Ponpes Al Zaytun. Ia pun menyoroti soal pra kondisi Pemilu 2024 sebagai upaya polarisasi masyarakat dengan menarik-narik isu Islam.
Ia pun mencium adanya operasi operasi intelijen yang bekerja untuk kepentingan Pemilu 2024. Ia menanyakan soal mengapa video kontroversi Ponpes Al Zaytun baru baru ini viral sementara itu sudah sejak lama.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Panji Gumilang mengenai Mazhab Soekarno berkenaan dengan tata cara shalat Ponpes Al Zaytun yang menarik sorotan publik. Menurutnya, itu perlu dikaji bahwa adanya penggiringan opini soal sosok Soekarno itu sendiri. Hal ini pun tidak jauh soal operasi intelijen.
“Produk intelijen itu tidak selalu diciptakan dari BIN (Negara), organisasi intelijen asing atau swasta juga bisa melakukan cipta kondisi itu. Ya, kita tahu Al-Zaytun sendiri adalah produk intelijen dari rezim lama,” ujar Sekretaris Eksekutif SAS Institute.
Bagi penulis, kejadian yang menyangkut Ponpes Al Zaytun menggelikan, terlebih kesesatan yang diajarkan sangat nyata bahkan narasi politik hingga narasi kharismatik ketokohan (Soekarno) itu gamblang seolah merupakan standar baru sebagai cara menjadi nasionalis dengan menyimpang terhadap ajaran agama.
Hal ini menurut istana mungkin saja wajar, bahkan mendukung. Penulis yakin bahwa pernyataan Moeldoko mewakili tanggapan para pejabat istana lainnya.
Lantas mengapa tanggapan mereka seperti itu?
Hal ini tentu saja menyangkut soal kepentingan mereka, bahkan mereka pula yang berada di belakangnya. Jika aparat saja bisa tunduk pada pimpinan Ponpes Al Zaytun, bukankah hal tersebut merupakan hal yang janggal? Terlebih menjelang momentum kontestasi besar perpolitikan bangsa.
Jika kita menyaksikan deretan kejadian ini sebetulnya bukan sekali dua kali polarisasi, black campaign, politisasi hingga prakondisi tak sedikit merugikan hingga menyinggung berbagai pihak terjadi jelang pemilu.
Termasuk kejadian black campaign yang menyangkut Gubernur DKI Jakarta pada 1 Juni 2022 silam dengan mengirimkan sejumlah massa yang mengaku dirinya FPI dan HTI palsu memberikan dukungan pada Anies Baswedan dengan melakukan iring-iringan menggunakan kendaraan bermotor di sekitar Jakarta.
Cipta kondisi yang semacam ini sebetulnya sudah sangat sering terjadi, praktik kotor semakin berjamur menjelang kontestasi demokrasi 5 tahun sekali, baik tingkat provinsi (Pilkada) terlebih nasional yakni pemilu.
Hal ini bukan saja merugikan lawan politik, akan tetapi juga masyarakat yang terhasut, teradu domba hingga akhirnya melahirkan banyak korban.
Inilah faktanya, bahwa dalam sistem demokrasi, intelijen bisa saja dikerahkan demi melangsungkan kepentingan Istana. Hal ini terbukti bukan saja pada dugaan kuat terhadap deretan kontroversi Ponpes Al Zaytun melainkan kejadian lainnya yang juga telah berlalu sebelum pemilu mendatang.
Cipta kondisi ini bukan saja membuat geram berbagai pihak akan tetapi beberapa kejadian menyinggung umat muslim. Selain politisasi Islam yang kerap kali dilakukan oleh politikus menggunakan narasi hingga atribut Islam seperti baju koko, peci hitam, hingga berderma ke pondok pesantren ataupun panti asuhan, upaya cipta kondisi juga seringkali menyangkut soal Islam yang pada akhirnya hanya menyinggung dan menyakiti umat muslim.
Potensi umat muslim sebagai massa terbesar di Indonesia tak bisa dielakkan. Namun fakta ini justru menjadi sasaran empuk bagi mereka para politikus jahat sistem demokrasi. Apa pun caranya untuk meraih kekuasaan dilakukan meskipun itu merugikan umat muslim.
Ironisnya, kita umat muslim tak bisa membela diri di tengah riuh kontestasi politik, meski katanya demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Bagi mereka para pengusungnya juga bebas menyakiti dan menyinggung umat muslim demi meraih kekuasaan.
Apakah Ponpes Al Zaytun akan terus menjadi pion politik untuk terus mengadu domba umat, ataukah setelah berbagai penyimpangannya terbongkar Ponpes Al Zaytun akan ramai-ramai dikecam bahkan ditutup oleh pihak yang berwajib?
Wallahu a’lam bi sowab.
*) Mahasiswa Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ