Denny Indrayana Salah Alamat

Denny Indrayana Salah Alamat

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: ADHIE M. MASSARDI
SETELAH republik nyaris jungkir-balik muncul orang-orang berilmu yang beritikad baik. Tapi sayang surat yang dilayangkan ahli tata-negara Denny Indrayana dari rantau salah alamat. Harusnya langsung ke PD!

Denny Indrayana dalam satu-dua bulan belakangan jadi episentrum gunjang-ganjing politik nasional. Ini gegara manuvernya dari rantau (Melbourne, Australia) yang disebar via media sosial kemudian disambut media lokal yang jadi viral.





Menariknya, Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menggebrak panggung politik kita yang penuh dusta dengan kapasitasnya sebagai intelektual, dari sisi kehidupan ketatanegaraan yang dibawa rezim Joko Widodo ke zaman jadul, makanya tampak amburadul.

Denny memang ahli hukum tata negara (HTN) dari UGM. Melihat usia dan jam terbangnya, bisa disebut yunior. Tapi karena sepanjang pemerintahan Widodo nyaris tak ada koreksi terkait kehidupan ketatanegaraan di NKRI yang abaikan Konstitusi UUD 1945, Denny Indrayana seolah jadi satu-satunya ahli HTN milik bangsa Indonesia.

Lihatlah, dengan kemampuan intelektualnya Denny nerjang badai. Abaikan risiko dikriminalisasi. Melawan “9 anak naga” penjaga gerbang Mahkamah Konstitusi yang dipimpin ipar presiden. Sehingga arah angin demokrasi (sistem pemilu) tetap terbuka.

Dalam konteks memberikan kesadaran berdemokrasi, berbangsa dan bernegara sesuai tatanan keilmuan, Denny harus kita beri emoji 3 jempol. Bangsa ini harus bersyukur masih punya anak bangsa seperti Denny.

Tapi sebagai acuan (gerakan) politik, karena memang bukan politisi apalagi orang pergerakan, surat-surat Denny dilayangklan ke alamat yang salah. Maka jika dikumpulkan sulit diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” sebagaimana surtat-surat RA Kartini.

Ini Alamat yang Benar

Contoh salah alamat adalah surat yang dilayangkannya ke DPR-RI. Isinya pendapat Denny yang bilang: “Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment (pemakzulan) karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024.”

Denny kasih ilustrasi “Skandal Watergate”, kejadian di AS awal 1970-an yang membuat Presiden Nixon pada 9 Agustus 1974 mundur untuk hindari dimakzulkan parlemen.

Skandal Watergate adalah peristiwa penyadapan kantor milik Partai Demokrat di kawasan Pintu Air, pinggiran Washington. Melibatkan penguasa AS yang dipimpin Presiden Richard Nixon, jagoan Partai Republik

Kisah terbongkarnya skandal ini difilmkan Hollywood pada 1976 (All the President’s Men), melibatkan dua aktor paling top kala itu, Robert Redford sebagai Bob Woodward  dan Dustin Hoffman merankan Carl Bernstein, dua wartawan The Washington Post yang lakukan investigasi selama lebih dari setahun.

Selain menjadi legenda karya jurnalistik, Skandal Wartergate menjadi pelajaran penting di dunia jurnalistik modern. Bob Woodward dan Carl Bernstein menjadi idola para wartawan selama tiga dekade.

Namun surat Denny Indrayana tentang Skandal Watergate ini, sejak dirilis 7 Juni 2023, hingga memasuki pekan ketiga, terus melayang-layang di dunia maya. Tak jelas juntrungnya. Tidak nyentuh para anggota DPR-RI. Mereka tetap asyik kongkow, bicara hal-hal yang anfaedah, yang bukan tugas dan kewenangannya seperti diperintahkan Konstitusi: (1) Hak Interpelasi, (2) Hak Angket dan (3) Hak Menyatakan Pendapat.

Tapi semua itu bukan sepenuhnya salah anggota DPR. Surat yang dilayangkan Denny memang salah alamat. Seharusnya dialamatkan langsung ke anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD). Karena ini menyangkut nasib dan masa depan parpol tempat mereka mangkal sebagai politisi.

Bagi kebanyakan anggota DPR, parpol tak lebih dari hantu-blau. Mereka ada untuk dua hal. Menyuruh bikin undang-undang pesanan oligarki, atau minta setoran.

Jadi mustahil mereka mau berkorban pasang badan makzulkan Presiden Widodo demi nyelamatkan Partai Demokrat, partai orang lain pula. (“Lha, partai sendiri saja gw gedhek,” pikir mereka!)

Akan lebih baik jika Denny Indrayana kirim ulang surat itu. Tujukan langsung ke Ketua Majelis Tinggi, Ketua Umum dan Ketua Fraksi Partai Demokrat. Ajari mereka ayunkan langkah menuju pemakzulan. Perintahkan instrumen partai di parlemen gulirkan Hak Angket.

Dulu dalam UU 6/1954 tentang Hak Angket DPR, sekurang-kurangnya 10 orang anggota DPR sudah cukup untuk usulan hak angket kepada Pimpinan DPR. Tapi pasca pemakzulan Gus Dur, prosesnya dipersulit. Termasuk mekanisme pamakzulan yang jadi amat sangat rumit, sehingga cenderung mustahil.

Tapi ngawali langkah dengan gulirkan Hak Angket masih bisa dilakukan. Pasal 177 UU 27/2009 tentang MD3, hak angket bisa diusulkan oleh paling sedikit dua puluh lima (25) orang anggota DPR serta lebih dari satu fraksi. Untuk penuhi persyaratan lebih dari satu fraksi, F-PD kan bisa ngajak F-Nasdem atau F-PKS yang senasib sepenekanan penguasa.

Ingatkan orang-orang Partai Demokrat, jika kalian saja ogah merjuangkan nasib dan masa depan partai, apa pula masyarakat yang tidak pernah merasakan hasil perjuangan parpol-parpol itu.

Akan tetap jika di tubuh parpol, dalam tubuh (beberapa anggota) DPR ada terbersit “niat luhur” untuk perbaiki kehidupan ketatanegaraan, insyaAllah koalisi masyarakat sipil akan bergerak mendorong dari luar, mendorong agar perubahan ke arah perbaikan itu benar-benar bisa terwujud. Selanjutnya, ini sudah urusan politisi yang DNA-nya pergerakan!

Ingat, di negeri ini demokrasi punya dua sayap, demokrasi perwakilan (parlemen) dan demokrasi langsung (ekstra parlemen). Dalam setiap memasuki masa darurat, kedua sayap demokrasi ini selalu jalan paralel. Dan sukses menyelesaikan berbagai kemelut bangsa.

Berbagai problem krusial bangsa pada era Sukarno, Suharto, juga era Gus Dur dengan segala kontroversinya, sayap demokrasi perwakilan dan sayap demokrasi langsung mengepak saling mengisi. Terbang membawa harapan rakyat.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini menambah cakrawala Denny Indrayana untuk menyadarkan sohib-sohibnya yang jadi bos di Partai Demokrat. Salam! 

(Penulis adalah Pendiri Gerakan Indonesia Bersih (GIB)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita