OLEH: TOM PASARIBU
PERTAMA saya mengucapkan selamat memperingati tragedi Kerusuhan Mei 1998, semoga arwah yang menjadi korban diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tragedi Mei 1998 meruntuhkan rezim Orde Baru (Orba) karena dituduh sebagai pemerintahan yang otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme, Dwifungsi ABRI, serta kejaksaan dan kepolisian yang bekerja sesuai dengan keinginan pemerintah.
Tanpa terasa sudah 25 tahun berlalu. Elite politik, aktivis, dan mahasiswa yang kala itu turut menghujat rezim pemerintahan Orba, sebagian sudah mendapat posisi yang sangat strategis di pemerintahan Reformasi.
Sebab yang menjadi kunci utama supaya hasrat dan keinginan seluruh rakyat Indonesia yang termaktub dalam Pancasila, Pembukaan, pasal demi pasal UUD 1945, dapat terwujud dengan baik ditentukan oleh pemerintahan.
Namun pada kenyataannya pemerintahan rezim Reformasi yang dibentuk elite politik, aktivis, maupun mahasiswa ternyata jauh lebih buruk dari rezim Orde Baru.
Hal tersebut dapat kita lihat dan kita rasakan di era reformasi seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang setiap jamnya semakin subur.
Aparat kepolisian dan kejaksaan yang semakin koruptif dan semena-mena, Dwifungsi Polri di seluruh lini, 90 persen lembaga negara menjadi sarang para koruptor, UUD 1945 menjadi alat melegalkan korupsi.
Belum lagi pemberitaan hoax yang menyesatkan di segala lini, perekonomian yang terseok-seok sehingga menciptakan utang negara yang mencapai kurang lebih Rp7.800 triliun, penegakan hukum sesuai selera penegak hukum dan pemerintah, penangkapan terhadap masyarakat, tokoh dan ulama yang kritis, pembredelan website yang melakukan kritik maupun membongkar kasus-kasus korupsi.
Berikutnya membuat aturan dan peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 melalui undang-undang, menciptakan pejabat dan ASN yang hidup mewah dan hedon, menciptakan perpecahan di tengah masyarakat, melahirkan pejabat-pejabat yang memiliki ijazah palsu, menciptakan pemilihan umum yang curang serta tidak bermartabat, menciptakan kerusakan di seluruh lembaga negara, membiarkan presiden mencampuri dan menentukan capres.
Roda pemerintahan rezim Reformasi dalam praktik dan kenyataannya dijalankan jauh dari Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut mengakibatkan kemakmuran yang diraih dari kekayaan alam yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Demikian juga rakyat sebagai pemegang kedaulatan hanya dijadikan sebagai budak dan sapi perah untuk memenuhi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang dipergunakan untuk membayar gaji dan memenuhi kebutuhan hidup seluruh pejabat pemerintah yang mewah sebesar 50 sampai 60 persen, sebanyak 40 persen untuk pembangunan infrastruktur.
Pendidikan, kesehatan, yang dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta pengusaha-pengusaha yang bersedia berkolaborasi.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan melalui utang negara yang saat ini kurang lebih telah mencapai Rp 7.800 triliun, akan dibebankan kepada seluruh rakyat Indonesia melalui pungutan pajak. Sebagian pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang dibangun melalui investasi, yang apabila selesai pembangunannya langsung dijual pemerintah dalam keadaan merugi.
Kerugian tersebut juga dibebankan kepada seluruh rakyat indonesia, atau kepada pengguna jalan tol yang harus melakukan pembayaran setiap melewati jalan tol. Sampai biaya pembangunan dan kerugian dapat tertutupi, serta mendapat keuntungan. Namun beberapa ruas tol yang telah lunas masih tetap harus berbayar.
Dengan demikian Tragedi Mei 98 hanyalah sebuah konspirasi melalui tuduhan-tuduhan yang tidak benar dan terbukti. Tragedi tersebut dilakukan hanya sebuah bentuk kecemburuan rezim Orba dalam mengelola pemerintahan.
Buktinya pemerintahan rezim Reformasi justru melakukan apa yang dituduhkan terhadap rezim Orba.
Yang pasti rakyat menjadi korban pembodohan dan hasutan elite politik, aktivis, dan mahasiswa untuk menggulingkan rezim Orba yang dikenal saat ini dengan Tragedi '98.
Ternyata tujuan mereka untuk membawa rakyat ke jurang kehancuran dan perpecahan. Sementara hanya segelintir orang yang berkuasa dan menikmati hasil perjuangan setelah menggulingkan rezim Orba.
Saat ini mereka sedang berpesta pora, padahal harapan rakyat sebenarnya sangat mudah dan simpel, hanya bagaimana caranya agar dapat menikmati cita-citanya yaitu kemakmuran dan keadilan. Mereka tidak rela dan setuju rakyat dapat menempuh cita-citanya.
Sehingga cita-cita dan harapan rakyat tinggal hanya sebuah mimpi, walaupun sudah sangat tegas dan lugas ditorehkan dalam Pancasila, Pembukaan serta pasal demi pasal UUD 1945. Sebab cita-cita tersebut telah dirampok dan dinikmati oleh elite politik, tokoh dan sebagian aktivis yang terlibat pada Tragedi 98.
Menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 sebuah skenario besar sedang dimainkan untuk menciptakan tragedi yang jauh lebih dahsyat dari Tragedi 98. Karena empat skenario yang telah dijalankan dianggap tidak berhasil.
Pada 20 Maret 2023 saya telah menulis dengan judul “Empat Skenario Politik Membawa Rakyat ke Jurang Perpecahan”.
Skenario yang kelima dijalankan dengan senyap melalui capres tahun 2024, kekhawatiran dan ketakutan kelompok ini disebabkan beberapa permasalahan dan kasus yang sangat mengancam posisi dan kedudukan mereka, bila masa jabatannya berakhir.
Tidak adanya titik temu dengan partai, maka kelompok ini mulai membuat gerakan melalui relawan yang dimiliki, sebagai bentuk tekanan agar partai yang menolak keinginan kelompok tersebut mau ikut dengan kelompok tersebut.
Tanpa basa basi bagi partai yang membangkang dicari kasus korupsinya, atau bisnisnya dipersulit.
Kelompok ini sedang berusaha mendapatkan dukungan penuh dari seluruh rakyat dengan cara merespons pengaduan rakyat melalui medsos yang mendapat perhatian dari rakyat, kemudian melakukan inspeksi ke daerah tersebut, dengan gaya sebagai pahlawan, yang pada akhirnya hanya mengambil alih proyek untuk dikerjakan.
Sementara kepala daerah yang bermasalah tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Dan kalau mengacu kepada aturan dan peraturan cukup hanya ditangani seorang menteri.
Saat ini kelompok tersebut sedang membentuk paguyuban baru untuk menyelamatkan masalah dan kasus yang dihadapi dengan harapan dapat dituntaskan dengan baik, sebab sudah segala cara dilakukan untuk menuntaskan masalah dan kasus yang dihadapi tetapi masih belum kunjung tuntas.
Bila masalah dan kasus yang sedang dihadapi tidak kunjung tuntas dua bulan sebelum pendaftaran capres ke KPU maka akan digunakan prinsip “Rawe-rawe rantas malang-malang putung” yang memiliki arti; segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan.
Mengingat skenario yang dijalankan membutuhkan dukungan yang penuh dari seluruh rakyat, agar dapat berjalan mulus.
Sekarang tinggal menunggu keputusan seluruh rakyat Indonesia, apakah rakyat masih mau menjadi korban keganasan politik seperti Tragedi 98? Atau mengambil sikap tegas dan lugas mempertahankan kemerdekaan pribadi yang dimiliki? Serta mempertahankan cita-citanya masyarakat adil dan makmur?
Semua tergantung pada seluruh rakyat indonesia sebagai pemegang kedaulatan.
Kalau rakyat terpecah maka akan dengan mudah skenario tersebut dijalankan. Dengan demikian rakyat hanya akan mendapatkan sembako, bansos, Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta subsidi. Namun pungutan pajak, dan pungutan lainnya akan semakin diperbanyak dan dinaikkan.
Terkhusus di Indonesia: Tsunami Politik dapat dihentikan bila rakyat bersatu!
Semoga rakyat, aktivis, elit politik, dan media dapat memaknai dan memahami tulisan ini, terimakasih.
(Penulis adalah Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia)