OLEH: AGUNG NUGROHO
PEMILU sejatinya adalah tolak ukur sejauh mana demokratisasi tumbuh secara sehat. Untuk dapat tumbuh dengan sehat maka dipertemukanlah adu gagasan, ide, narasi dan program agar pemilu menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Dalam adu gagasan, ide, narasi, dan program tersebut, negara telah memberi ruang dalam konstitusinya untuk bebas menyampaikan pendapatnya. Seperti termaktub dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".
Kebebasan menjadi hal penting dalam negara demokratis seperti Indonesia. Kebebasan tersebut termasuk kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mempertahankan argumen di muka umum.
Sebagian besar negara maju menjunjung tinggi nilai kebebasan setiap individu. Hak atas kebebasan ekspresi dan berpendapat di Amerika Serikat diatur dalam dokumen Virginia Bill of Rights (12 Juni 1776), Declaration of Independence (4 Juli 1776), dan Undang-Undang Dasar.
Dalam sidang pertama PBB pada 1946, sebelum disahkannya Universal Declaration on Human Right atau traktat-traktat diadopsi, Majelis Umum PBB melalui resolusi Nomor 59 (I) terlebih dahulu menyatakan “Hak atas informasi merupakan Hak Asasi Manusia Fundamental"…standar dan semua kebebasan yang dinyatakan "suci" oleh PBB.
Menjadi satu hal yang ironis dan memprihatinkan ketika ada relawan Ganjar Pranowo melaporkan isi pidato Anies Baswedan yang berisi data perbandingan secara statistik apa yang dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dengan apa yang sudah dibangun Joko Widodo alias Jokowi terkait pembangunan jalan.
Seharusnya relawan Ganjar Pranowo ikut berperan serta secara aktif dalam meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Caranya dengan membiasakan diri membalas tulisan dengan tulisan, data dengan data, dan gagasan dengan gagasan.
Sehingga terbuka ruang perdebatan yang ilmiah dan mencerdaskan kesadaran politik rakyat. Bukan malah menunjukkan sikap represif dan antidemokrasi dengan melakukan laporan secara hukum ke kepolisian.
Sikap represif dan antidemokrasi dengan melakukan laporan secara hukum merupakan tindakan membungkam kebebasan orang untuk berpendapat yang akan berimbas tidak sehatnya demokrasi di negara Indonesia. Kondisi ini akan membuat orang takut untuk mengeluarkan pendapat.
Apalagi jika kita mengacu hasil survei lembaga survei Indikator Politik pada 2022 menyatakan bahwa 62,9 persen masyarakat merasa semakin takut dalam mengeluarkan pendapatnya.
Sementara pada Februari 2023, indeks demokrasi Indonesia turun peringkat dari 52 ke-54. Ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masuk ke dalam kategori negara flawed democracy atau demokrasi cacat.
Sudah sewajarnya relawan pendukung capres 2024 sebagai bagian dari elemen demokratisasi di Indonesia harus mampu menjadi kelompok yang berkomitmen untuk meningkatkan pertumbuhan demokrasi yang sehat dan ilmiah.
Bukan malah menjadi algojo yang memenggal demokrasi dengan cara represif dengan melakukan laporan secara hukum terhadap perbedaan pendapat.
(Penulis adalah Ketua Nasional Rekan Indonesia)