Oleh: Asyari Usman*
SKANDAL korupsi BTS bergulir terus. Setelah Ketum Nasdem Surya Paloh menantang Presiden Jokowi untuk mengusut tuntas kasus ini, Menko Polhukam yang juga menjabat sebagai Plt Menkominfo Mahfud MD mendengar kabar ada tiga partai politik (parpol) yang menerima aliran dana korupsi itu (Selasa, 23/5/2023). Mahfud mempersilakan Kejaksaan Agung dan KPK mendalami dugaan tiga parpol yang menerima uang korupsi BTS.
BTS (base transceiver station) adalah proyek Kemenkominfo untuk membangun menara telekomunikasi bagi pengadaan sinyal 4G di kawasan terdepan, terluar, dan terpencil (3T). Jumlah seluruh BTS yang telah dan akan dibangun adalah 9.113 menara.
Pada tahun 2020 telah selesai 1.209 menara. Untuk tahun 2021 direncanakan 4.200 dan untuk 2022 sebanyak 3.704. Dugaan korupsi 8 triliun rupiah itu terjadi dalam pembangunan 4.200 menara untuk 2021.
Pak Mahfud mengaskan, dia tidak akan melakukan intervensi dalam proses pengusutan. “Biarkan hukum yang menentukan itu,” kata Mahfud. Beliau mendorong Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendalami dugaan terhadap tiga parpol tersebut.
Tentu saja sikap dan saran Pak Mahfud ini sangat diharapkan terlaksana secara transparan. Kejaksaan dan KPK harus segera mengejar aliran dana BTS ke ketiga parpol itu. Tanpa ragu dan tidak tebang pilih.
Ini yang diinginkan Bang Surya –sapaan akrab Surya Paloh. Bang Surya tidak masalah kalau Nasdem pun harus didalami oleh aparat penegak hukum (APH).
Mahfud mengatakan, dia sendiri sudah diberi tahu nama ketiga parpol yang diduga menerima aliran korupsi BTS. Salah satu jaringan koran online, TribunBatam (23/5/2023), menuliskan lengkap identitas ketiga parpol yang diduga menerima uang korupsi BTS yaitu P--P, Ge----ra, dan Na--em.
Sayangnya, ketika semua orang serius menunggu tindakan tegas tanpa pandang bulu, Pak Mahfud sendiri malah menunjukkan kegamangan untuk mengawal pengustan skandal mega korupsi ini. Kegamangan itu dapat dilihat dari diksi yang dipakai Pak Menko perihal tiga parpol yang diduga terlibat.
Ini ucapan Mahfud yang terasa menghambarkan pengusutan. “Ya, saya juga dapat berita itu, dengan nama-namanya. Tetapi saya anggap itu gosip politik.”
Gosip politik? Apa maksudnya? Kok terasa Pak Menko mengentengkan soal keterlibatan ketiga parpol itu. Dengan kata lain, Pak Mahfud belum percaya sepenuhnya. Cuma gosip politik.
Bagi publik, informasi nama-nama parpol itu pastilah tidak sembarangan sampai ke telinga beliau. Tak mungkin Pak Mahfud mendengar itu di warung kopi atau warteg pinggir jalan.
Tidak mungkin pula dari sopir dinas atau sopir pribadinya. Dan tidak mungkin pula informasi recehan akan dirilis oleh Pak Mahfud di depan konferensi pers.
Artinya, nama ketiga parpol itu pasti didapat Pak Mahfud dari petinggi di Kemenkominfo yang Plt meterinya adalah beliau sendiri. Atau, bisa jadi juga diperoleh dari badan intelijen yang koordinasi kabinetnya berada di bawah Menko Polhukam.
Apa sulitnya bagi Mahfud untuk mendapatkan nama ketiga parpol penerima aliran uang korupsi BTS itu? Tentu saja tidak sulit. Sekali lagi, tidak mungkin informasi yang tak terverifikasi akan dibisikkan ke Pak Mahfud dan kemudian dia singgung di depan para wartawan meskipun tidak menyebutkan nama ketiga parpol tersebut.
Publik ingin tahu segera siapa saja ketiga parpol itu. Umumkan secara terbuka dan proses sesuai hukum yang berlaku. Masyarakat berhak mendapatkan informasi lengkap tentang korupsi BTS yang sangat merugikan rakyat miskin.
Pak Mahfud harus segera mengubah status “gosip politik” untuk keterlibatan ketiga parpol tersebut menjadi “berita korupsi”.
Kalau Pak Mahfud beralasan bahwa dia menganggap ini “gosip politik” lantaran pembuktiannya bisa rumit dan khawatir akan terjadi kemelut politik seperti yang beliau sampaikan kepada para wartawan, maka ini jelas menunjukkan sikap buang badan.
Itu artinya Pak Menko, yang belakangan sangat vokal soal korupsi, sekarang menjadi kecut karena dua diantara tiga parpol itu adalah blok besar di DPR dan sangat kuat. Barangkali Pak Mahfud mulai berpikir tentang karirnya sendiri. Takut kedua parpol besar itu meminta Jokowi agar memecat dia.
Mengenai pembuktian yang bakal rumit, itu nanti urusan APH. Bukankah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah mulai bekerja untuk membantu Kejaksaan dan KPK menelusuri aset dan aliran dana semua pihak yang diduga terlibat? Apa rumitnya?
Soal kemelut politik? Mengapa harus pusing? Memangnya kedua parpol besar yang diduga menerima dana korupsi itu akan mengamuk di jalan-jalan? Tampaknya tidak mungkin. Mereka adalah orang-orang yang mengerti penegakan hukum dan keadilan untuk semua.
*) Penulis adalah jurnalis dan pemerhati sosial politik