Anies Baswedan Diprediksi Menang Satu Putaran

Anies Baswedan Diprediksi Menang Satu Putaran

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH
Praktisi Hukum dan Pemerhati Politik

Banyak yang menjegal Anies Baswedan agar batal menjadi calon presiden pada Pemilihan Presiden 2024.

Namun upaya penjegalan itu hanya bisa dirasakan, sulit dibuktikan.

Seperti angin yang menyentuh tangan dan bahu kita, tetapi tidak bisa ditangkap.

Demikian Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dalam wawancaranya dengan sebuah media akhir pekan lalu.

Nasdem pada 3 Oktober 2022 telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres untuk Pilpres 2024.

Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kemudian menyusul mendukung mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai capres.

Di pihak lain, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto telah ditetapkan partainya sebagai capres 2024 melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra, Agustus 2022.

Menyusul kemudian Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soakarnoputri menetapkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai capres 2024 pada 21 April 2023.

Dalam survei berbagai lembaga kredibel, elektabilitas atau tingkat keterpilihan Anies Baswedan selalu berada di urutan ketiga setelah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Ganjar dan Prabowo terkadang bertukar tempat di posisi pertama dan kedua. Namun, Anies selalu berada di posisi ketiga.

Meski demikian, posisi ketiga ini tidak menjadikan Anies ciut nyali.

Berkaca pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 di mana lembaga-lembaga survei selalu menempatkannya bersama Sandiaga Uno di posisi ketiga, kali ini pun Anies yakin akan terpilih pada Pilpres 2024, sebuah optimisme dan keyakinan diri yang patut diacungi jempol.

Pertanyaannya, kalau memang elektabilitas Anies berada di posisi ketiga, mengapa banyak pihak merasa terancam oleh keberadaan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini sehingga perlu menjegalnya?

Bahkan enam ketua parpol koalisi pendukung pemerintah sampai “ngeriung” di Istana Negara, Jakarta, Selasa (2/5/2023), minus Surya Paloh, padahal Nasdem merupakan parpol anggota koalisi.

Kalau memang Anies menjadi ancaman terkait kesinambungan program pembangunan, bukankah itu normatif saja? Jangankan ganti presiden, ganti menteri ganti kebijakan saja sudah biasa?

Sebenarnya tidak perlu ada yang paranoid, karena jika suatu program pembangunan itu bagus, maka niscaya akan Anies lanjutkan.

Lihat saja “track records” atau rekam jejak Anies saat memimpin Jakarta. Program pendahulunya yang baik dilanjutkan, bahkan ditingkatkan, sementara program yang kurang baik akan dievaluasi atau bahkan dihentikan, dan itu normatif saja sebenarnya.

Atau ada pihak-pihak yang memang ketakutan akan ada masalah di kemudian hari jika Anies berkuasa karena mantan Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, ini dikenal tegas dan bersih?

Kalau tidak bersih, mana mungkin bisa tegas? Sebaliknya, bagi mereka yang bersih, tidak perlu takut menghadapi Anies. Kecuali mereka yang tidak bersih, boleh takut.

Antitesis

Itu satu hal. Hal lain yang mungkin menjadi sumber ketakutan lawan-lawan politik Anies adalah ia dicitrakan sebagai antitesis Presiden Jokowi.

Kita tahu, citra antitesis yang melekat pada diri Anies akan menguntungkan posisinya sebagai capres. Mengapa?

Ini terkait siklus lima atau 10 tahunan, di mana galibnya masyarakat pemilih akan memilih presiden berikutnya yang citra dan karakternya berbeda dengan presiden yang akan digantikannya.

Jika Presiden Jokowi selama ini dikenal sebagai sosok yang spontan dan ceplas-ceplos, sebaliknya Anies dikenal sebagai sosok yang cenderung protokoler dan kalem.

Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dikenal sebagai sosok yang ceplas-ceplos, mirip Presiden Jokowi saat ini.

Gus Dur yang digantikan Presiden Megawati Soakernoputri kemudian digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang cenderung protokoler dan kalem.

SBY digantikan oleh Presiden Jokowi yang sekali lagi dikenal spontan dan ceplas-ceplos.

Untuk presiden yang akan datang, diyakini masyarakat pemilih akan memilih capres yang cenderung protokoler dan kalem seperti SBY, dan itu ada dalam diri Anies.

Alhasil, posisi Anies sebagai capres pun diuntungkan. Inilah faktor lain yang membuat lawan-lawan politik Anies ketakutan, sehingga seperti yang disampaikan Surya Paloh, Anies banyak yang menjegal.

Lalu bagaimana peluang Anies?

PDIP sudah memegang "golden ticket" karena perolehan kursinya di DPR RI pada Pemilu 2019 lebih dari 20 persen, sehihgga sesuai ketentuan Pasal 222 Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, partai berlambang kepala banteng moncong putih dalam lingkaran ini memenuhi syarat "presidential threshold" untuk nengajukan capres-cawapres sendiri tanpa berkoalisi dengan parpol lain. Akibatnya, PDIP akan ngotot mempertahankan Ganjar Pranowo sebagai capres, bukan cawapres.

Di pihak lain, berdasarkan hasil survei teranyar yang menempatkan Prabowo Subianto di posisi teratas elektabilitas capres, maka Gerindra pun akan keukeuh memasang Prabowo selaku capres sebagai harga mati, bukan cawapres.

Jadi diperkirakan akan ada tiga pasangan capres-cawapres sebagai peserta Pilpres 2024, yakni Prabowo, Anies dan Ganjar beserta cawapres masing-masing.

Nah, konstelasi politik semacam ini akan menguntungkan bagi Anies.

Pasalnya, Prabowo dan Ganjar memiliki ceruk massa yang relatif sama, yakni nasionalis-religius yang kekiri-kirian atau Islam abangan, sehingga keduanya pun akan berebut suara dari ceruk yang relatif sama.

Sebaliknya, ceruk suara Anies yang nasionalis-religius kekanan-kananan relatif didulang Anies sendiri, sehingga dukungan suara dari ceruk ini buat Anies akan solid.

Plus, pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 yang nasionalis religius kekanan-kananan sebagian akan beralih ke Anies, karena mereka kecewa Prabowo bergabung dengan pemerintah menjadi Menteri Pertahanan.

Alhasil, jika Pilpres 2024 diikuti tiga capres yakni Prabowo, Anies dan Ganjar maka Mas Anies akan menang dalam satu putaran. Insya Allah! (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita