Oleh: Tony Rosyid*
KOALISI besar, itulah gagasan reaktif setelah Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) mengusung Anies Baswedan. Istana menjadi kolaborator untuk membentuk koalisi yang terdiri dari Golkar, PAN, PPP, Gerindra, dan PKB.
PKB tampaknya keberatan. Dianggap melawan, maka seketika kasus Kardus Durian muncul kembali. MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah dua aktor yang memunculkan kembali kasus Kardus Durian.
Publik membaca ini sebagai pressure atau tekanan kepada Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Di sini, kesan adanya kawin paksa terasa sekali. Mirip awal kelahiran Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), di mata publik itu juga kawin paksa.
Gagasan koalisi besar, ingin menyatukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Indonesia Raya (KIR). Jika koalisi ini terbentuk, maka harapan Cak Imin untuk menjadi cawapres Prabowo pupus. PKB tidak punya kekuatan lagi untuk menekan Prabowo berpasangan dengan Cak Imin.
Kemungkinan koalisi besar akan terbentuk, kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Pengatur orkestranya adalah Jokowi, lanjutnya. Terbentuknya koalisi besar lebih disebabkan oleh loyalitas, tepatnya ketakutan mereka terhadap istana. Sebagaimana juga KIB. Satu soal serius yang akan mereka hadapi adalah siapa capres-cawapres yang akan diusung oleh koalisi besar ini?
Akankah koalisi besar ini mengusung Prabowo Subianto? Tidak menutup kemungkinan ini terjadi. Tapi, ini tidak mudah. Sabab, kans Prabowo untuk menang di Pilpres 2024 dianggap relatif kecil. Elektabilitas Prabowo sudah jauh menurun. Sementara, sulit mencari pemantik yang bisa mendorong naiknya elektabilitas Prabowo.
Golkar dan PKB agak sulit menerima Prabowo jadi capres. Begitu juga PAN dan PPP. Kecuali jika Airlangga Hartarto jadi cawapresnya, Golkar bisa menerima. PKB mau capreskan Prabowo jika Cak Imin jadi cawapresnya. Bukan untuk menang pilpres, tapi lebih untuk memenangkan partai masing-masing.
Sampai di sini, nego di partai koalisi besar akan sangat alot dan cenderung terancam bubar. Faktanya memang, kepentingan masing-masing partai sulit dipertemukan di koalisi besar yang ingin dibentuk.
Golkar, PAN dan PPP, tiga partai yang telah bergabung dalam KIB dari awal menginginkan capresnya Ganjar. Ini perintah sutradara. Tapi, Ganjar kader PDIP. Tanpa keikutsertaan PDIP, Ganjar akan melemah elektabilitasnya.
KIB terancam bubar ketika Ganjar menolak karena belum ada restu dari PDIP. Untuk menyelamatkan KIB agar tidak bubar, dibuatlah koalisi besar. Ini bagian dari upaya istana untuk menekan PDIP agar mau capreskan Ganjar.
Di sisi lain, Gerindra kemungkinan sulit menerima jika Prabowo jadi cawapres Ganjar. Posisi ini akan membuat Prabowo akan ditinggalkan konstituennya. Gerindra diprediksi akan jeblok suaranya jika Prabowo jadi cawapres.
Apa kata dunia jika Prabowo jadi cawapres? Lihat rekam jejak Prabowo di pilpres. Tahun 2009 Prabowo jadi cawapres Megawati. Dalam hal ini, kita diingatkan kembali oleh perjanjian "Batu Tulis" yang terkhianati.
Dua kali (2014 dan 2019) Prabowo menjadi capres. Lalu mau jadi cawapres lagi di 2024? Ironi bagi catatan sejarah Prabowo. Apalagi kalau mau jadi cawapres dan kemudian kalah. Ini akan lebih ironis lagi. Kesimpulannya, dari semua analisis, posisi cawapres bagi Prabowo sangat merugikan. Buat Prabowo maupun buat partainya.
Belakangan, PDIP menawarkan diri untuk masuk koalisi besar. Jika PDIP bergabung, maka masalah akan semakin kompleks. PDIP akan meminta jatah sebagai capres. Puan Maharani adalah tokoh yang direkomendasikan. Apakah lima parpol di luar PDIP akan menerima Puan sebagai capres? Hampir tidak mungkin. Selain faktor elektabilitas, istana memang tidak menginginkan Puan jadi capres.
Akar dari situasi yang sungguh rumit untuk membentuk "koalisi istana" ini, apakah itu KIB maupun koalisi besar, dikarenakan adanya benturan kebutuhan antara Jokowi dan Megawati.
Jokowi ingin tetap eksis di dunia politik setelah berakhir masa jabatannya sebagai presiden. Caranya? Menjadi partner dan bahkan mentor capres yang direkomendasikan. Jika capres yang diusung berhasil, Jokowi punya kesempatan bisa mengambil alih PDIP.
Ada kekuatan yang dijadikan alat untuk ambil alih PDIP. Karena hanya dengan ambil alih PDIP, Jokowi bisa melanjutkan eksistensinya di dunia politik. Boleh jadi, ini adalah satu-satunya peluang yang dimiliki Jokowi. Inilah salah satu faktor penting yang membuat Jokowi hari ini begitu sibuk dengan urusan koalisi.
Sementara, Megawati akan mati-matian mempertahankan PDIP di tangan trah Soekarno. PDIP besar karena menganut ideologi Soekarnoisme. Maka, trah Soekarno lah yang dianggap mampu mensolidkan semua kader dan simpatisan PDIP. Tak ada ruang bagi yang lain untuk ambil posisi kepemimpinan di PDIP, termasuk Jokowi.
*) Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa