OLEH : ADIAN RADIATUS
GELARAN Piala Dunia U-20 yang nyaris dilaksanakan di Indonesia, kandas begitu muncul aroma kontroversi konflik politik di balik perhelatan itu. Politik mendominasi dunia olahraga sungguh kemunduran bagi jiwa dan semangat politik itu sendiri.
Ada nama partai di baliknya, ada nama ormas, ada kelompok tertentu sebutannya, yang menolak hadirnya Tim Israel di sini. Apapun itu jelas hanyalah politik yang berbicara dan korbannya adalah integritas sebagai bangsa yang besar, di mana peranan sebagai jurudamai dunia dimungkinkan.
Seandainya perhelatan itu berlangsung, maka selain dapat mengukur pencapaian anak muda pesepakbola Indonesia saat ini, keuntungan ekonomis bagi rakyat juga tentu menjadi peluang besar yang diperkirakan mencapai nilai sekitar Rp3,7 triliun.
Keuntungan moralitas juga pasti mengalir dari dunia politik internasional. Indonesia akan disegani dan berpeluang untuk menjembatani perdamaian antara Israel dan Palestina.
Namun kepicikan bola politik telah dimainkan hingga membuyarkan semua kesempatan emas mengharumkan nama bangsa dan negara di kancah global terkini.
Pro kontra atas sebuah perhelatan besar seakan sudah menjadi tradisi politik di sini. Sebut saja Formula E Ancol juga MotoGP Mandalika dan teranyar Piala Dunia U-20 ini.
Namun yang terakhir ini menjadi istimewa karena menimbulkan situasi ala 'buah simalakama'. Maka di sinilah permainan 'bola politik' menjadi berpeluang untuk saling melirik, menjegal sekaligus menjatuhkan lawan yang hendak disisihkan.
Kesalahan terbesar sesungguhnya tidak cukup piawainya pemerintah melakukan sosialisasi ajang akbar ini yang memang dinantikan oleh masyarakat dunia khususnya pecinta sepak bola.
Tanggung jawab Menpora sebelum berhenti masuk PSSI dan Ketua Umum PSSI patut disoal karena tidak berjalannya sosialisasi ajang Piala Dunia U-20 ini sebagaimana mestinya sebuah perhelatan akbar.
Hal itu dapat terlihat nyata ketika suara penolakan bergaung langsung mendapat respons yang menimbulkan suasana konflik di tengah opini publik. Termasuk di berbagai laman media sosial. Tidak ada bagian bangsa manapun yang sudi kehadirannya di sebuah negara menjadi polemik buruk berdasarkan sentimen politik.
Begitulah ketika 'bola politik' bergulir liar akibat ketidakmatangan persiapan 'human relationship' suatu event besar. Apalagi melibatkan negara namun tidak bekerja secara profesional yang merupakan bagian 'politik bola' dalam implementasinya.
(Penulis adalah pemerhati sosial politik)