GELORA.CO - Konflik di Papua yang melibatkan KKB serang TNI hingga tewas jadi panas. Bahkan, mantan pejabat BIN (Badan Intelijen Negara) menyebut prajurit TNI gamang dan komandan galau bertindak.
Kegamangan prajurit TNI AD atau TNI Angkatan Darat karena tidak berani bertindak gegabah, alhasil tidak bisa melakukan tindakan terukur dan tegas lantaran mereka (Prajurit TNI) cuma bantu tugas kepolisian.
Membantu tugas kepolisian yang dimaksud Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Maroef Sjamsoeddin (Mantan Waka BIN), karena konteks lawan di Papua adalah Kelompok Kriminal Bersenjata alias KKB.
"Jika namanya kelompok kriminal bersenjata, maka kelompok kriminal itu yang numpas polisi bukan prajurit TNI yang harus gelar operasi tempur atau militer," kata Maroef Sjamsoeddin memberi padangan melansir channel Youtube Abrahama Samad SPEAK UP, 29 April 2023 yang tayang (27/4/2023).
Kegamangan prajurit TNI melawan KKB menjadi senantiasa bagi mereka untuk menewaskan prajurit yang bertugas di sana.
"Saya menduga ini adalah kegamangan dalam bertugas, termasuk komandan di lapangan pun galau dalam mengambil tindakan tegas. Pemicunya karena status mereka cuma membantu bukan status operasi militer," kata mantan pejabat BIN, Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Maroef Sjamsoeddin.
Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Maroef Sjamsoeddin mengulik status yang disematkan pemerintah terhadap konflik Papua. Seingatnya mengatakan, pemerintah berita status terhadap mereka sebagai gerakan pemberontakan senjata, gerakan separatis dan gerakan politik.
"Yang jadi pertanyaan itu sekarang kelompok kriminal. Jika dipandang, kelompok kriminal, tidak cocok dihadapkan dengan operasi tempur TNI Angkatan Darat," tutur mantan Komandan Skadron 465 Paskhas.
Operasi tempur atau operasi militer sebut mantan pejabat BIN Maroef Sjamsoeddin, sudah ada undang-undang yang mengaturnya.
Ia lantas bertanya, KKB itu sebagai apa dan kemudian prajurit TNI itu dalam hal ini sebagai apa pula dalam melakukan operasi yang dimaksud.
"Mestinya posisi TNI dalam perkara di Papua cuma membantu polisi. Sebab TNI menganut prinsip battle field (medan perang-red), kill or to be killed (membunuh atau dibunuh-red)," katanya.
Jelas sangat ada kegalauan dan kegamangan di TNI, "Ya takut pelanggaran HAM karena itu operasi penegakan hukum, dan kemudian mereka mempertimbangkan apakah sasaran merupakan orang-orang kriminal apa bukan, apalagi mereka tidak berseragam," jelasnya.
"Leading sektor itu polisi bukan militer. Sementara yang prajurit TNI hadapi gerakan pemberontakan bersenjata," papar Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Maroef Sjamsoeddin, mantan Komandan Skadron 465 Paskhas.
Pemerintah kata Maroef Sjamsoeddin, harus tegas dalam mengeluarkan perintah aturan dalam Undang-Undang TNI dalam melaksanakan tugas dan fungsi.
"Ketika ada ketegasan yang mengatur dalam UU TNI, maka prajurit dapat melaksanakan tugasnya dan tidak dianggap melanggar Hak Asasi Manusia," ungkapnya lagi.
Menyelesaikan konflik Papua di Indonesia tidak sama dengan menuntaskan kasus konflik di Aceh. Sebab, Organisasi Papua Merdeka (OPM) terdiri atas faksi, baik dalam maupun luar negeri. Ada juga faksi OPM dalam politik termasuk bersenjata yang berada di kawasan pegunungan Papua.
Masih kata Maroef Sjamsoeddin, masing-masing dari mereka memiliki panglima tidak satu komando.
"Faksi ini jumlahnya ada 13 kalau tidak salah, ada faksi bersenjata dan tnpb opm, dan masing-masing wilayah atau kabupaten itu ada komandan mereka. Ada juga yang individual dan belum tentu mereka adalah panglima," jelasnya.
Ini yang kemudian menyulitkan dalam melakukan negosiasi, tidak seperti Aceh.
"Aceh dulunya itu punya tokoh sentral sehingga ada alur dalam melakukan negosiasi, sementara kalau di Papua mau bernegosiasi kepada siapa? karena tidak ada tokoh sentral yang jadi panutan mereka," ungkapnya.
Sumber: suara