Ketua KPU Didesak Mundur Seusai Skandal dengan Wanita Emas Terbukti

Ketua KPU Didesak Mundur Seusai Skandal dengan Wanita Emas Terbukti

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Desakan agar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengundurkan diri dari jabatannya terus menguat seusai skandal dengan Hanaeni Moein atau Wanita Emas terkuak. Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) memutuskan Hasyim melanggar etik dan disanksi berat karena terbukti melakukan percakapan dengan topik pribadi melalui Whatsapp dengan ketua umum Partai Republik Satu itu.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, proses pemeriksaan dan putusan DKPP sudah menunjukkan dengan jelas bahwa Ketua KPU terbukti melakukan pelanggaran kode etik berupa tindakan tidak profesional dengan mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketua KPU juga dinilai mencoreng kredibilitas kelembagaan KPU karena terkait dengan konflik kepentingan.

“Oleh karena itu, terlepas dari sanksi yang sudah dijatuhkan DKPP, sebagai ketua lembaga negara yang sudah diangkat sumpah atas nama Tuhan yang Maha Esa dan menyatakan akan mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas kepentingan pribadi, Ketua KPU sudah selayaknya untuk mengundurkan diri dari keanggotaan KPU,” kata Fajri kepada Republika, di Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Dalam hal ini, PSHK juga mendesak DKPP untuk lebih tegas dan tidak ragu menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota. Hal ini harus dilakukan jika ada penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran kode etik, terutama yang berkaitan dengan tindakan sengaja mendahulukan kepentingan pribadi dan terkait konflik kepentingan dengan perannya sebagai penyelenggara pemilu.

“DKPP harus membuat mekanisme perlindungan terhadap korban dan/atau pengadu yang terkait dengan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu,” kata Fajri.

DKPP juga didesak untuk menyiapkan mekanisme pemeriksaan terhadap korban dan/atau pengadu agar dapat memberikan informasi secara bebas, aman, dan tanpa tekanan. “Sekali lagi, Ketua KPU Hasyim Asy’ari untuk segera mengundurkan diri dari keanggotaan KPU,” ujar dia.

Putusan DKPP RI Nomor 35-PKE-DKPP/II/2023 dan 39-PKE-DKPP/II/2023 memberikan sanksi “peringatan keras terakhir” kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari. Dia melanggar Pasal 6 Ayat (3) huruf e dan f juncto Pasal 15 huruf a, d, dan g Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.

Ketua KPU RI dinilai melanggar prinsip profesionalisme dengan melakukan komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu dan mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu. Namun, menurut PSHK, DKPP tidak tegas dalam penjatuhan sanksi peringatan keras terhadap ketua KPU.

“Alih-alih menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota KPU, DKPP justru melakukan pembiaran terhadap ketua KPU yang sudah terbukti melanggar kode etik. DKPP seolah tidak menyadari bahwa kredibilitas KPU dipertaruhkan dalam putusannya, yang akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu dan proses pemilu secara keseluruhan,” kata Fajri.

PSHK menilai putusan DKPP tidak berperspektif korban dugaan kekerasan seksual. Hal ini dilihat dari segi proses penanganan kasus pelecehan seksual, DKPP tidak memiliki skema pelindungan saksi dan korban. Kedua, kata Fajri, DKPP gagal menghadirkan perspektif korban dalam proses penanganan kasus maupun pertimbangan hukumnya.

“Ketiga, DKPP absen menghadirkan pertimbangan relasi kuasa yang sering kali berperan dalam kasus kekerasan seksual. Di tengah berbagai kekurangan tersebut, DKPP justru menekankan beban pembuktian kepada korban,” ujar Fajri.

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai bagian dari Koalisi Kawal Pemilu Bersih menilai, Hasyim pantas mundur dari jabatannya karena dua kali berturut-turut terbukti melanggar kode etik. Apalagi, pelanggaran terakhir terkait skandal Hasyim dengan ketua umum parpol.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menjelaskan sejumlah ketentuan yang menjadi landasan mengapa Hasyim layak mundur. Pertama, Pasal 21 Ayat (1) huruf d UU Pemilu yang menyatakan bahwa syarat menjadi anggota KPU RI adalah mempunyai integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil. Kedua, TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menegaskan bahwa penyelenggara negara harus siap mundur apabila telah melanggar kaidah.

“Dengan melandaskan dua pelanggaran kode etik yang secara berturut-turut dijatuhkan kepada Hasyim, telah memenuhi syarat bagi dirinya untuk mengundurkan diri,” kata Kurnia.

DKPP memang memutuskan Hasyim melanggar kode etik sebanyak dua kali dalam sepakan terakhir. Pada Kamis, 30 Maret 2023, DKPP menyatakan Hasyim terbukti melanggar kode etik karena memprediksi Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan pemilihan legislatif (pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Hasyim dijatuhi sanksi peringatan.

"Dua pelanggaran kode etik yang secara berturut-turut dijatuhkan kepada Hasyim, telah memenuhi syarat bagi dirinya untuk mengundurkan diri."
- KURNIA RAMADHANA, Peneliti ICW 

Empat hari berselang atau 3 April 2023, DKPP kembali menyatakan Hasyim melanggar kode etik. Musababnya, Hasyim terbukti pernah bepergian dan kerap berkomunikasi terkait urusan pribadi dengan Hasnaeni Moein alias Wanita Emas. Mereka berduaan pergi ke Yogyakarta saat KPU sedang melakukan verifikasi administrasi terhadap Partai Republik Satu sebagai syarat untuk menjadi peserta Pemilu 2024.

Hasyim enggan menanggapi putusan DKPP ini. Dia hanya mau memberikan penjelasan kepada awak media terkait isu pemilu lainnya. Kalau soal itu (sanksi peringatan keras terakhir), saya tidak komentar. Kalau yang lain, saya mau,” ujar dia seusai putusan pelanggaran etik dijatuhkan.

Sumber: republika
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita