OLEH: ANDRE VINCENT WENAS
DUA orang kepala daerah di Indonesia menolak Israel main di Piala Dunia U-20. Pertama dari I Wayan Koster (Gubernur Bali), lalu tak lama berselang disusul Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah).
Lalu diramaikan oleh para petugas partai PDIP lainnya. Sehingga sebagian publik pendukung banteng yang fanatik buta ikut-ikutan membenarkan (menjustifikasi) penolakan itu.
Anehnya, sekarang I Wayan Koster malah mendukung keikutsertaan tim Israel di kejuaraan dunia bola voli pantai alias World Beach Games 2023. Sama-sama kejuaraan olahraga tingkat dunia di mana tim Israel ikut serta. Yang satu ditolak, yang satunya lagi didukung.
Tentu kita sepakat dengan dukungan Gubernur Bali terhadap kejuaraan dunia bola voli pantai ini. Kita hanya heran dan menyesalkan penolakannya terhadap Piala Dunia U-20 kemarin.
Ada sesuatu yang aneh, kenapa keputusan kepala daerah yang sama, kali ini berbeda 180 derajat?
Padahal, seperti kita kemukakan tadi, keduanya sama-sama kejuaraan olahraga tingkat dunia, di mana tim Israel ikut serta. Konteksnya sama. Kenapa yang satu ditolak, yang satunya lagi didukung?
Dipikir-pikir dan direnungkan.
Rasanya tak ada hal lain yang bisa menjelaskan persoalan ini selain latar belakang politik.
Ya, akhirnya kita harus akui bahwa ini adalah politisasi olahraga. Mencampuradukan urusan olahraga dengan urusan politik, seperti kata Pak Jokowi.
Dalam "politicking", artinya politik yang tanpa moral atau panduan etika, semua dimungkinkan. Orang menyebutnya (walaupun agak salah kaprah) dengan istilah machiavellian.
Beberapa pengamat telah menduga bahwa ini adalah upaya penggembosan popularitas sekaligus elektabilitas Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden. Hasil survei akhir-akhir ini telah menunjukan fakta adanya tren penurunan itu.
Tapi di sisi lain, ini adalah juga semacam "test-case" bagi Ganjar untuk uji kepemimpinannya. Apakah ia sanggup untuk bersikap sebagai pemimpin yang tangguh, bukan sekadar jadi "petugas partai". Mampu membela kepentingan bangsa yang lebih besar ketimbang ambisi pribadi penguasa partai.
Sasarannya jelas adalah Ganjar, walau bom politik itu diledakkan memakai event olahraga di Bali.
Sekarang bagaimana?
Berdasarkan hasil survei, elektabilitas Ganjar katanya ada penurunan, tapi tetap masih cukup tinggi. Masih di ranking 3 besar bersama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Tapi ada 3 nama lain yang juga cukup moncer baru-baru ini, yaitu Mahfud MD, Erick Thohir, dan Sri Mulyani Indrawati. Konteks ekonomi-politik akhir-akhir ini menaikkan ketiga nama kandidat baru itu.
Ganjar bisa saja memposisikan dirinya sebagai "korban" dari ambisi pribadi penguasa di internal partainya. Korban dari unjuk kuasa secara ngawur atasannya. Walaupun itu tidaklah menafikkan fakta tentang kualitas kepemimpinannya sendiri.
Kita lihat saja perkembangannya, apalagi dengan munculnya koalisi besar. Konstelasi jadi semakin menarik.
(Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP), Jakarta)