GELORA.CO - Penemuan puluhan mayat pengikut aliran sesat di Kenya mengejutkan banyak pihak. Mayat-mayat itu dikubur dalam satu lubang di hutan di desa Shakahola.
Mereka sebelumnya adalah jamaah di bawah pengaruh pendeta Paul Mackenzie Nthenge. Mereka tewas setelah aksi kelaparan bersama.
Desa Shakahola adalah wilayah yang berdebu, berangin, dan panas, dengan terik matahari yang memanggang. Letaknya sekitar 70 kilometer dari surga wisata Malindi di Kabupaten Kilifi, tempat 'pendeta' Mackenzie menganggap tanah sucinya.
Mackenzie, sebenarnya bukan orang baru. Enam tahun lalu dia pernah didakwa dalam kasus yang sama, yaitu menyebarkan ajaran sesat.
Muncul pernyataan, mengapa "Pembantaian Hutan Shakahola" yang menewaskan 73 orang pengikutnya itu, tidak terdeteksi sebelumnya?
Ketua Senat Amason Jeffah Kingi menyampaikan keheranannya, bagaimana kejahatan keji seperti itu, yang diatur dan dieksekusi selama periode waktu tertentu, bisa lolos dari radar sistem intelijen.
“Bagaimana 'pendeta' ini mengumpulkan begitu banyak orang, mengindoktrinasi, mencuci otak dan membuat mereka kelaparan sampai mati, atas nama puasa, dan kemudian mengubur mereka di hutan tanpa terdeteksi?” tanyanya, seperti dikutip dari The Standart, Senin (24/4).
Ia menambahkan bahwa mengapa sekte itu dapat terus beroperasi padahal Nthenge telah menjadi target polisi sebelumnya.
"Kengerian yang terungkap yaitu kematian kultus Shakahola harus dan harus menjadi peringatan bagi bangsa, khususnya Badan Intelijen Nasional (NIS) dan program kepolisian komunitas kami," tegasnya lagi.
Mackenzie Nthenge dan istrinya Joyce Mwikamba, mendirikan gereja pada tahun 2003 sebagai pusat penginjilan kecil.
Ketika gereja mulai berkembang, pasangan tersebut memindahkannya ke desa Migingo di Malindi. Tak lama, Mackenzie kembali memindahkan gerejanya ke Shakahola pada Agustus 2019 dengan alasan perlu memulai hidup baru.
Salah satu cara Mackenzie Nthenge mengumpulkan pengikut sekte adalah dengan meyakinkan jemaatnya bahwa dia memiliki kemampuan untuk berbicara langsung kepada Tuhan.
Mackenzie memanipulasi penduduk setempat melalui ajaran agama ekstrem yang menyimpang. Ia dulunya adalah televangelis, penginjil yang kontroversial, yang saat ini dalam penyelidikan ketat karena diduga memberitakan doktrin berbahaya yang mendorong para pengikutnya mati kelaparan agar bisa mencapai surga lebih cepat.
Mackenzie Nthenge pernah ditangkap pada tahun 2017 atas tuduhan “radikalisasi” setelah mendesak keluarga di Kenya untuk tidak menyekolahkan anak mereka, mengatakan bahwa pendidikan tidak diakui oleh Alkitab.
Diketahui bahwa Mackenzie Nthenge memiliki lagu Injil yang diberi nama Antikristus di mana dia mengklaim bahwa Gereja Katolik, AS, dan PBB adalah agen Setan.
Dia ditangkap kembali pada Maret, menurut media lokal, setelah dua anak mati kelaparan dalam tahanan orang tua mereka, tgetai kemudian dibebaskan.
Awal tahun ini, dia memaksa jemaahnya untuk menjual semua yang mereka miliki, lalu menyerahkan uang hasil penjualan itu kepadanya, dan memaksa mereka untuk melakukan puasa sampai mati kelaparan agar bisa bertemu Tuhan.
Sementara pengikut gereja mati kelaparan, pendeta itu justru makan dengan normal dan tinggal bersama keluarganya di kompleks yang terjaga keamanannya di Migingo.
Kejahatan tersebut terungkap setelah adanya laporan orang hilang setelah mengikuti gereja pimpinan Mackenzie Nthenge.
Mackenzie Nthenge yang akhirnya ditangkap pada 14 April, akan diadili di depan Pengadilan Hukum Malindi tetapi tidak dituntut setelah polisi meminta waktu untuk menyelesaikan penyelidikan. Pengadilan mengizinkan polisi untuk menahannya selama 14 hari.
Laporan intelijen menunjukkan bahwa Mackenzie Nthenge memiliki kaki tangan dari gereja lain yang sedang diselidiki polisi.
Sekretaris Kabinet Dalam Negeri Kithure Kindiki mengatakan bahwa pembantaian hutan Shakahola adalah pelanggaran paling jelas terhadap hak asasi manusia yang diabadikan secara konstitusional atas kebebasan beribadah.
Hussein Khalid, seorang anggota kelompok hak asasi Haki Afrika yang memberi tahu polisi atas tindakan gereja tersebut, mengatakan salah satu dari mereka yang diselamatkan menolak untuk makan meskipun jelas-jelas mengalami tekanan fisik.
"Saat dia dibawa ke sini, dia benar-benar menolak untuk diberikan pertolongan pertama dan dia menutup mulutnya dengan tegas, pada dasarnya menolak untuk dibantu, ingin melanjutkan puasanya sampai dia meninggal," katanya kepada AFP.
Direktur Kejaksaan Noordin Haji menegaskan akan mendakwa Mackenzie Nthenge dengan radikalisasi dan terorisme.
Uskup Keuskupan Malindi Willybard Lagho mengatakan negara harus berperan serta dalam menghidupkan kembali dorongan untuk mengatur gereja-gereja. Selama ini, pengaturan mandiri telah gagal menjinakkan ajaran radikal di gereja-gereja.
Sumber: RMOL