GELORA.CO - Seorang Misionaris Katolik dari Indonesia yang sedang bertugas di Filipina bernama Yohanes Kopong Tuan, MSF., mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah Indonesia.
Surat terbuka itu menyusul penutupan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Desa Cigelam, Kecamatan Babakancikao, oleh Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika.
Bupati Purwakarta itu menyegel Gereja itu dengan alasan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
Tindakan Anne Ratna itu bertepatan dengan tindakan Gubernur Bali Wayan Koster menolak Timnas Israel U-20 dengan alasan karena Israel menjajah Palestina. Dan itu tidak sesuai dengan amanat UUD 1945.
Menurut Pastor Tuan Kopong, penyegelan Gereja yang dilakukan oleh Anne Ratna Mustika pun tidak sesuai dengan amanat UUD 1945.
Karena UUD 1945 mengatur tentang negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Berikut protes atau surat terbuka Pastor Tuan Kopong yang dia tujukan kepada pemerintah Indonesia terkait Gereja yang disegel di Purwakarta. Protes itu dia sampaikan lewat akun Facebook miliknya.
"Yang Terhormat Para Tuan Republik:
Bela Kemerdekaan Palestina: UUD 1945, Kemerdekaan Beribadah: SKB 2 Menteri?
Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 02-April-2023, Bupati Purwakarta: Anne Ratna Mustika menyegel Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Desa Cigelam, Kecamatan Babakancikao, Purwakrta karena tidak memiliki ijin (IMB).
Setiap tindakan intoleransi dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok agama lain di Republik ini entah itu pelarangan beribadah di rumah, pelarangan mendirikan rumah ibadah, penghentian ibadah karena dianggap bangunan yang digunakan bukan rumah ibadah dasarnya selalu SKB 2 Menteri terkait IMB.
UUD 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama yang dianutnya tunduk pada SKB 2 Menteri yang dari segi kedudukan lebih rendah dari UUD 1945 ketika berurusan dengan agama terutama kalau berhadapan dengan kelompok minoritas.
Sangat, sangat ironis! Membela kemerdekaan negara lain justru menggunakan landasan Konstitusi dalam hal ini Pembukaan UUD 1945.
Namun untuk membela kemerdekaan warganya sendiri dalam hal kebebasan beragama dan beribadah justru landasannya adalab SKB 2 Menteri yang justru semakin mempertegas penjajahan di Republik seperti yang tak bertuan ini.
Dalam urusan kebebasan beragama dan beribadah di Republik tak bertuan ini, UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD’45 hilang tanpa jejak, tidak dijadikan landasan Konstitusional melainkan SKB 2 Menteri yang terkesan memperlihatkan bentuk penjajahan baru di negeri ini.
Dari segi kedudukan UUD’45 sejatinya lebih kuat dan mengikat tapi justru tunduk pada SKB 2 Menteri yang selama ini menjadi senjata kaum mayoritas untuk “menjajah” kaum minoritas.
Kalau demikian kita ini berdaulat untuk siapa? Untuk Palestina kita tegas mengatakan bahwa sebagai negara kita harus menunjukan kedaulatan kita dengan menegakan Konstitusi UUD’45 tetapi untuk Republik ini ibarat Republik tak bertuan karena UUD’45 tidak ditegakan tetapi SKB 2 Menteri.
Orang berdoa dan beribadah di Republik ini, selalu dijajah dengan SKB 2 Menteri, tapi untuk menolak timnas U-20 Israel kita teriakan Konsitusi UUD’45.
Orang berdoa dan beribadah yang tidak pernah menghasilkan peperangan dan penjajahan kita atur sedemikian rupa dengan ragam larangan dan penolakan melalui SKB 2 Menteri.
Tapi untuk Palestina kita jadikan UUD’45 sebagai landasan menolak kehadiran timnas U-20 Israel.
Kalau demikian apa bedanya Republik ini dengan Israel? Ini namanya “penjajah” teriak “penjajah” di Republik ini."
Sumber: suara