GELORA.CO - Mega proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) kembali jadi sasaran kritik publik. Ini setelah pemerintah China mengenakan bunga pinjaman sebesar 3,4 persen.
Pemerintah negara komunis itu juga menuntut pembayaran utang pokok dan bunganya bisa dijamin oleh APBN Indonesia. Merespon hal itu, pemerintah Indonesia menawarkan alternatif penjaminan pinjaman dilakukan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero).
Sementara untuk masalah bunga, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga mengaku gagal melakukan negosiasi dengan pemerintah Tiongkok.
Sebagai informasi saja, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun sebesar Rp 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18,02 triliun.
Angka tersebut merupakan hasil audit setiap negara yang kemudian disepakati kedua negara. Dengan demikian, biaya total proyek yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara Rp 108,14 triliun.
Nilai setelah pembengkakan ini sejatinya jauh melampaui investasi dari proposal Jepang melalui JICA yang memberikan tawararan proyek KCJB sebesar 6,2 miliar dollar AS dengan bunga 0,1 persen.
Alasan pilih China
Dikutip dari pemberitaan Kompas.com 2 Oktober 2015, Menteri BUMN 2014-2019 Rini Soemarno menyebut Pemerintah Indonesia mantap memilih China karena negara itu menawarkan pembangunan proyek tanpa APBN dan jaminan pemerintah.
Sebaliknya, Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) meminta Pemerintah Indonesia untuk menjamin proyek tersebut. Sebab, menurut Jepang, secara realistis pengerjaan kereta cepat sangat sulit apabila menggunakan skema murni business to business (b to b).
"Begini soal kereta cepat supaya semua jelas. Padahal, kan sebetulnya keputusan pemerintah sangat jelas. Nah, kalau dilihat dari dua proposal yang diterima, yang memenuhi syarat adalah proposal dari Tiongkok. Karena dari Tiongkok tidak meminta jaminan dari pemerintah. Tidak minta anggaran dari pemerintah dan ini transaksi b to b karena BUMN dengan BUMN," ujar Rini Soemarno kala itu.
Karena itu pula, kata dia, Kementerian BUMN melakukan pendalaman kepada BUMN China. Lalu, akhirnya disepakati untuk membuat joint venture agreement.
Yang diputuskan juga adalah ini konsorsium dari BUMN (dikerjakan BUMN tanpa APBN)," kata Rini Soemarno.
Adapun BUMN yang akan terlibat dalam konsorsium proyek kereta cepat meliputi PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perkebunan Nusantara VIII.
Sementara China juga membentuk konsorsium demi proyek yang akan menelan dana puluhan triliun itu (kini biayanya bengkak Rp 108,14 triliun). Tutur Rini, China Railway Corporation (CFC) akan memimpin konsorsium BUMN Tiongkok itu.
"Skema pembiayaan kan sudah jelas. Mereka sudah tawarkan 40 tahun (tenor) dari CDB (China Development Bank), 10 tahun grace period, 30 tahun pengembalian, bunga 2 persen. Ini 2 persen fixed untuk 40 tahun untuk komponen dollar," kata dia.
Proposal Jepang ditolak
Sebelum datang tawaran dari China, Negeri Sakura itu menawarkan proposal pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung ke pemerintahan Jokowi melalui JICA.
Saking seriusnya menawarkan proyek tersebut, JICA bahkan rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai 6,2 miliar dollar AS, di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Belakangan di tengah lobi Jepang, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama. Hal itu rupanya mendapat sambutan baik dari Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno.
Saat Jepang masih belum menyerah merayu Pemerintah Indonesia, Rini bahkan selangkah lebih maju dengan menandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2016.
China kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih murah, yakni sebesar 5,5 miliar dollar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, berbeda dengan tawaran Jepang, China menjamin pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung ini tak menguras dana APBN Indonesia.
Tawaran China lainnya yang berbeda dengan proposal Jepang, yakni mereka mengeklaim akan terbuka soal transfer teknologi kepada Indonesia.
Penegasan Jokowi haramkan APBN
Sesuai dengan janji dari China pula, baik Presiden Jokowi maupun para pembantunya, juga beberapa kali menegaskan untuk tidak menggunakan uang rakyat seperser pun untuk membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.
"Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business (b to b). Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi," kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, 15 September 2015.
Jokowi menegaskan, jangankan menggunakan uang rakyat, pemerintah bahkan sama-sekali tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah.
Hal ini karena proyek kereta cepat penghubung dua kota berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis.
"Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya b to b, bisnis," tegas Jokowi kala itu.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengingatkan bahwa hitung-hitungan ekonomi proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung yang diperkirakan menelan investasi Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun itu sangat jelas.
Sumber: kompas