OLEH: ARIEF GUNAWAN
TAHUN 1967 di tengah situasi politik yang belum menentu karena dalam proses transisi kekuasaan dan kondisi ekonomi masih berantakan, terbit sebuah buku dengan kata sambutan yang ditulis Soeharto.
Menteri Utama Bidang Pertahanan-Keamanan yang baru ditunjuk menjadi Pejabat Presiden RI melalui Tap MPRS Nomor XXXIII ini, di bagian akhir sambutan buku itu menulis dengan menekankan imbauan moral:
“Dengan membaca fakta di buku ini masyarakat dapat lebih jelas mengetahui penyelewengan moral dan ekonomi yang menimbulkan kesulitan-kesulitan besar... Hendaknya semua itu menjadi peringatan bagi kita, bahwa luka-luka akibat penyelewengan yang cukup parah itu janganlah sampai terulang lagi ...”.
Buku tersebut berjudul “Proses Peradilan Jusuf Muda Dalam”.
Isinya rekaman persidangan skandal besar yang melibatkan Menteri Urusan Bank Sentral di Kabinet 100 Menteri era Sukarno itu.
Koran Berita Yudha yang terbit pada masa itu, misalnya, memuat laporan berkas perkara Jusuf Muda Dalam secara langsung diserahkan oleh Soeharto kepada Jaksa Agung Mayor Jenderal Sugih Arto.
Kenapa kasus ini disebut sebagai skandal besar?
JMD (Jusuf Muda Dalam) divonis hukuman mati, dengan dakwaan berlapis, yaitu korupsi, subversi, memiliki senjata api ilegal, dan melakukan perkawinan yang dilarang undang-undang.
Dalam suasana kemarahan rakyat sejumlah buku lainnya kala itu juga beredar, yang mengekspresikan kebencian dan rasa muak, antara lain dengan judul-judul nyeleneh, seperti:
“Anak Penyamun di Sarang Perawan”,
“Pengadilan Subversi JMD, Belum Pernah Terjadi Multi Skandal Sebrutal Ini Diktator Moneter yang Doyan Uang & Perawan ...”.
Selain pemberitaan mengenai gaya hidupnya yang hedonis, royal (antara lain suka nyawer uang dan kasih mobil mewah seperti Fiat dan VW) serta “punja koleksi nona-nona tjantik”, koran-koran juga memberitakan tentang rumah JMD yang bagaikan istana di kawasan Pasar Minggu, Jakarta.
“Istana prive yang dibangun Jusuf Muda Dalam di Jalan Pasar Minggu di sebidang tanah yang luasnya 8.000 meter persegi dinamakan Taman Firdaus.” tulis sebuah harian ibu kota.
Istana ini baru diketahui umum sebagai milik JMD setelah diserbu oleh para mahasiswa dan pelajar setelah berbulan-bulan lamanya jadi omongan masyarakat luas.
Pemberitaan lainnya ialah tentang uang sogokan yang diterima JMD dari para importir. Modusnya antara lain dengan memberikan defered payment khusus, berjumlah sekitar 270.000.000 dolar AS, dan penggelapan lainnya.
Pada 9 September 1966, setelah mendengar sekitar 175 saksi, pengadilan memutuskan hukuman mati kepada JMD, tapi belum sempat dieksekusi JMD keburu meninggal di rumah sakit Cimahi karena tetanus, pada 1976.
JMD adalah sarjana ekonomi lulusan Economische Hoge School, Rotterdam, Belanda, diangkat jadi Menteri Urusan Bank Sentral merangkap Gubernur Bank Indonesia pada 1963.
Dalam sejarah kabinet Indonesia ia satu-satunya menteri bidang ekonomi yang divonis mati dan dipenjara karena kebijakan-kebijakannya yang merugikan rakyat.
Lebih dari 50 tahun kemudian kisah mirip-mirip JMD ini rupanya kini sedang terulang. L'Histoire se répète, kata orang Perancis. Dengan kesamaan jabatan dari pelakonnya, yaitu sama-sama menteri bidang ekonomi. Kali ini pemerannya berinitial SMI alias Sri Mulyani Indrawati.
Bertahun-tahun jadi Menteri Keuangan, Sri Mulyani ternyata hanya beban masalah bagi perekonomian Indonesia. Sehingga mengenaskan sekali kalau ada yang menyebutnya Menteri Keuangan Terbaik.
Dalam penilaian tokoh nasional Dr. Rizal Ramli, kapasitas utama Sri Mulyani sebagai ekonom ialah kelihaiannya dalam soal berkata-kata atau “kebanyakan lipstik”.
Studinya di bidang ekonomi ternyata kajian labour economist (ekonomi ketenagakerjaan). Bukan macro-economics atau monetary economics yang lebih relevan dengan situasi saat ini.
Di akun Twitter-nya beberapa hari lalu, Rizal Ramli juga menyatakan kegusarannya. Panelis ahli bidang ekonomi di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini mengatakan:
“Hari ini kita sedang menyaksikan seluruh sistem kenegaraan mengalami dekadensi moral, etika, martabat, dan perilaku. Contohnya, megaskandal 300 triliun rupiah di Kementerian Keuangan yang sangat tidak bermoral dan sangat memalukan,” tegasnya.
Moral dan etika memang dua hal yang kini hilang dari nurani para penguasa negeri ini, dan contohnya ada pada Sri Mulyani.
Mulai dari keterlibatannya dalam Skandal Century senilai Rp 6,7 triliun, kebijakannya dalam menumpuk utang yang mendekati Rp 8.000 triliun, aneka pungutan pajak yang memberatkan rakyat kecil, hingga yang terbaru seperti masuknya Alphard tunggangannya ke apron bandara untuk menjemput, rumah di Maryland, Amerika Serikat, menggalang buzzers untuk mengatasi bobroknya kinerja di institusi pajak, dan Kementerian Keuangan yang dipimpinnya berkaitan dengan adanya transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang diduga berkaitan dengan pencucian uang, serta gaya hidup hedonis para pegawai pajak di bawah asuhannya.
“Kejahatan ini terlalu besar untuk didiamkan. Penerimaan negara anjlok, kemiskinan meningkat,” tandas Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan.
Karena itu ia meminta aparat penegak hukum tidak berdiam diri dan segera melakukan pengusutan terkait kejahatan yang sudah berlangsung sejak 2009 di Kementerian Keuangan itu. Seharusnya, lanjut Anthony, aparat penegak hukum mampu mengungkap skandal tersebut.
“Kalau terbukti pencucian uang terkait dengan korupsi penerimaan pajak, maka mereka layak dihukum seberat-beratnya, hingga hukuman mati. Karena sudah memiskinkan rakyat,” ujar Anthony.
Rizal Ramli sebagai ekonom yang memiliki reputasi dan prestasi yang memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat menambahkan, kalau Jokowi mempertahankan Sri Mulyani yang banyak terlibat dalam kasus kotor, Jokowi justru akan nyungsep bersama Sri Mulyani.
“It’s too big a scandal to ignore,” tegasnya.
Janganlah bersekutu di dalam kegelapan. Brotherhood of unholy alliance, kata Rizal Ramli lagi.
Bersihkanlah meja kotor dengan menggunakan lap yang bersih.
(Penulis adalah Pemerhati Sejarah)