Mimpi Prabowo dan Fenomena Anies

Mimpi Prabowo dan Fenomena Anies

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: SMITH ALHADAR*

HANYA sedikit orang di dunia ini yang mampu memelihara mimpi mereka hingga usia tua. Salah satunya adalah Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Saat usianya telah mencapai 73 tahun, ia belum selesai dengan dirinya. Obsesinya  menjadi presiden tetap menyala.

Dalam pertemuannya dengan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, pada 5 Maret 2023, Prabowo menegaskan tetap maju sebagai capres dalam pilpres  tahun depan. Kalau nanti benar-benar ia menjadi salah satu capres yang berkontestasi, berarti ini yang keempat kalinya ia berpartisipasi dalam pilpres.  Pertama sebagai cawapres di Pilpres 2009 dan sebagai capres dalam dua Pilpres berikutnya (2014 dan 2019).

Orang-orang yang mengenalnya secara dekat bersaksi bahwa Prabowo adalah seorang yang tulus dan cerdas. Beliau putra begawan ekonomi Orde Baru sekaligus Gurubesar Ekonomi UI: Sumitro Djojohadikusumo. Kecintaan Prabowo pada bangsanya pun tak perlu diragukan. Ia adalah pensiunan perwira tinggi.

Beliau terlihat emosional sehabis membaca novel fiksi saintifik "Ghost Fleet" karya P.W. Singer & August Cole. Pasalnya, novel yang menceritakan perang masa depan Cina-AS di Asia-Pasifik, Indonesia tidak disebut.

Prabowo memaknainya sebagai Indonesia tak ada lagi saat perang itu terjadi, yang entah kapan. Padahal, Prabowo ingin menjadikan Indonesia 'Macan Asia', cita-cita yang membuat ia terus berupaya menjadi presiden.

Obsesi inilah yang mungkin membuat mimpinya menjadi presiden tak kunjung usai. Dalam dua pilpres terakhir, Prabowo nyaris menggapai mimpi itu. Kali ini ia masih percaya diri bahwa peluangnya memenangkan pilpres mendatang tetap terbuka, meskipun lawannya makin muda sementara usianya kian tua.

Memang percaya diri Prabowo perlu dan beralasan bila orang percaya pada nubuah Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur -- yang dipercaya Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf sebagai wali -- pernah mengatakan Prabowo akan menjadi pemimpin masa depan.

Pertanyaannya: Apakah Prabowo akan keluar sebagai pemenang -- kalau pilpres jadi diselenggarakan dan Prabowo salah satu capres -- dalam pilpres yang tak sampai setahun lagi?

Kalau melihat peta politik nasional dalam konteks pilpres, besar kemungkinan yang akan bertarung memperebutkan tiket RI-1 adalah Prabowo melawan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Kini, Anies adalah bakal capres Koalisi Perubahan yang diusung Nasdem, Demokrat, dan PKS. Koalisi lain, meskipun belum resmi, adalah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) -- terdiri dari Gerindra dan PKB -- yang mengusung Prabowo.

Prabowo adalah aspiran capres yang konsisten berada di tiga besar bersama Anies dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.

Kendati elektabilitasnya tinggi, kecil kemungkinan Ganjar akan menjadi salah satu kompetitor dalam hajat nasional mendatang. Ini karena PDI-P menunjukkan konsistensinya menyingkirkan Ganjar dari arena pilpres. Memang di luar PDI-P, masih ada tiga parpol lain (Golkar, PAN, PPP) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Tapi KIB belum punya bakal calon. Kalaupun nanti mereka mencapreskan Ganjar tanpa dukungan PDI-P, nilai jual Ganjar tak signifikan. Artinya, peluang Ganjar menang kecil. Apalagi PAN dan PPP adalah cek kosong.

Hasil survei terkini memprediksi kedua partai ini tidak akan melangkah ke Senayan karena perolehan suara mereka tak mencapai ambang batas parlemen. Pemilih mereka berpindah ke Anies. Demikian juga sebagai pemilih Golkar.

Kendati bisa mengusung capres sendiri, PDI-P berulang kali menyatakan akan berkoalisi dengan partai lain dengan syarat capresnya dari kader partai itu. Walakin, hingga hari ini PDI-P belum mengungkapkan siapa bakal capresnya.

Apapun, siapapun capres PDI-P di luar Ganjar -- dan andaipun KIB bergabung dengan PDI-P -- bakal capres mereka tak dapat bersaing dengan Prabowo maupun Anies.

Kalaupun PDI-P lebih fleksibel dengan tidak ngotot memaksakan kadernya sebagai capres, masalah capres potensial tetap tak terpecahkan. Ketum Golkar Airlangga Hartarto bukan lawan sepadan Prabowo ataupun Anies.

Dus, secara objektif dan logis, pasangan capres-cawapres yang akan berkompetisi nanti adalah Anies melawan Prabowo.

Pertanyaannya: mungkinkah Prabowo mengalahkan Anies? Sampai beberapa waktu lalu, tingkat keterkenalan (top of mind) Prabowo masih lebih tinggi daripada Anies, tapi selisihnya kecil. Top of mind Prabowo lebih tinggi adalah wajar karena Prabowo telah mengikuti tiga pilpres.

Dari sisi elektabilitas keduanya, belum dapat ditentukan secara pasti siapa yang lebih tinggi karena jajak pendapat lembaga-lembaga survei yang kredibel menyodorkan hasil yang bertentangan pada saat hampir bersamaan. Ada yang menghasilkan Prabowo di atas Anies, ada yang sebaliknya. Taruhlah Prabowo masih di atas Anies.

Tapi dari sisi tren, elektabilitas Anies cenderung naik, sementara elektabilitas Prabowo cenderung stagnan atau melandai. Sebagai mantan capres yang memiliki pendukung besar dalam dua pilpres terakhir, elektabilitas Prabowo dan Anies yang kompetitif bukan kabar baik bagi Prabowo.

Seharusnya, elektabilitas Prabowo terpaut jauh dari Anies yang baru kali ini terjun sebagai capres. Fakta "kecilnya" pendukung Prabowo saat ini menunjukkan sebagian besar pemilih dulu telah meninggalkannya. Ada beberapa penyebabnya.

Pertama, sebagian pendukung Prabowo terluka saat Prabowo bergabung dengan pemerintahan Jokowi pasca Pilpres 2019. Prabowo dianggap mengkhianati pendukungnya dan melanggar sumpahnya sendiri akan timbul tenggelam bersama rakyat.

Sikapnya saat ini yang menjaga jarak dengan kubu Islam pendukungnya -- yang menjadi oposisi pemerintah -- seperti terlihat pada ketidakpeduliannya pada upaya komunikasi Amien Rais dengannya selama berbulan-bulan, sesungguhnya merugikannya  dalam konteks politik elektoral.

Dalam hal ini, kredibilitas dan integritasnya tercoreng. Amien, tokoh Gerakan Reformasi, masih punya pengaruh politik lumayan di kalangan rakyat, terutama pengikut Muhammadiyah. Kini Amien mendirikan Partai Ummat yang mendukung Anies.

Kedua, puji-pujian dan sanjungan Prabowo kepada Jokowi yang dulu dikecamnya -- sehingga, maaf, terkesan menjilat Jokowi --  merusak citranya sebagai pemimpin yang tulus,  jujur, dan istiqamah. Toh, tak mungkin publik tak menilai sikapnya itu dengan pilpres mendatang.

Apalagi dikaitkan dengan pemerintahan Jokowi di periode pertama yang dikecam Prabowo karena membiarkan kekayaan dalam negeri mengalir ke luar negeri dan kebocoran 30 persen APBN akibat dikorupsi. Dalam hal ini, Prabowo ada benarnya. Tapi di periode kedua pemerintahan Jokowi di mana Prabowo ada di dalamnya, apa yang dikecamnya dulu makin marak terjadi.

Lebih sulit dipercaya, Prabowo menyatakan pemerintahan Jokowi sangat berhasil dan, karena itu, ia berjanji akan meneruskan kebijakan pembangunan Jokowi kalau nanti terpilih jadi presiden. Sikap itu jelas menunjukkan ia ingin mendapatkan dukungan dan coattail effect (efek ekor jas) Jokowi.

Ketiga, terkait dua isu di atas, rekam jejak Prabowo yang dulu dituduh terlibat penculikan aktivis dan mahasiswa -- yang sebagian masih hilang sampai sekarang -- masih bisa mencuat kembali. Dengan menilai watak Prabowo hari ini yang terkesan tidak jujur, mungkin saja orang mengangkat kembali masa lalu Prabowo yang gelap itu. Benarkah dia tak terlibat penculikan yang disorot dunia internasional itu?

Keempat, pengakuan mantan Presiden BJ Habibie dalam bukunya "Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi" bahwa beliau mendapat info dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto bahwa Letjen Prabowo sebagai Pangkostrad sedang membawa pasukan menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana. Habibie pun langsung mencopot Prabowo dari jabatannya sehari setelah beliau dilantik sebagai presiden, 22 Mei 1998. Inti dari cerita itu adalah Prabowo hendak melancarkan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.

Rangkuman dari empat poin di atas bisa saja mengkonfirmasi bahwa Prabowo dapat berbuat apa saja demi menggapai mimpinya menjadi presiden. Apakah dengan berlaga dalam pilpres kali ini mimpi Prabowo akan terwujud? Bisa iya, bisa juga tidak.

Yang pasti Prabowo akan menghadapi lawan berat. Upaya penguasa menyingkirkan Anies dari kontestasi pilpres hanya menunjukkan Anies, tokoh antitesa Jokowi, adalah bakal capres yang berpotensi besar memenangkan pilpres.

Sambutan gempa-gempita terhadap Anies di setiap daerah yang dia kunjungi adalah isyarat kuat tentang popularitasnya.

Ada lagi tiga variabel yang menegaskan Anies adalah kompetitor serius. Pertama, persentase pemilih milenial dalam struktur pemilih Indonesia 2024 dalam pilpres mendatang sekitar 60 persen. Dari sisi usia, Anies (55 tahun) tak terpaut jauh dari mereka. Sementara hasil survei menunjukkan pemilih milenial lebih suka pemimpin muda.

Kedua, rakyat ingin perubahan. Apresiasi yang masih tinggi terhadap kinerja Jokowi tak berarti mereka ingin Jokowi tetap bertahan di istana. Buktinya, mayoritas rakyat Indonesia menentang pemilu ditunda atau perpanjangan masa jabatan presiden. Di pihak lain, Anies merupakan simbol pro-perubahan, Prabowo melambangkan kekuatan status quo.

Ketiga, prestasi Anies di Jakarta mendapat apresiasi luas, sementara publik tak tahu apa yang dikerjakan Prabowo selama menjadi menteri pertahanan.

Dengan fakta yang tersaji di atas, masuk akal kalau orang memprediksi Anies akan mengalahkan Prabowo. Maka, kalau prediksi ini jadi kenyataan, apakah Prabowo akan berhenti bermimpi menjadi presiden? Belum tentu.

Meskipun pada pilpres 2029 Prabowo sudah berusia 79 tahun, kalau masih ada parpol atau gabungan parpol yang bersedia mengusungnya sebagai capres, Prabowo akan maju.

Mungkin sebagian orang mencemooh mimpinya menjadi presiden yang tak pernah usai. Tapi sebagian lain mungkin akan mengagumi ketabahan dan kesabarannya memelihara mimpinya di tengah perubahan dunia yang cepat, yang tega meninggalkan orang-orang tua yang tak lagi match dengan zaman. 

*) Penulis adalah Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita