GELORA.CO - Geger soal kebijakan masuk sekolah bagi siswa/siswi SMA dan SMK untuk masuk jam 5 subuh di wilayah NTT memang masih menjadi perbincangan panas. Baik dikalangan akademisi maupun di ranah media sosial.
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat meminta peserta didik setingkat sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat masuk sekolah pukul 05.00 WITA.
Hal itu ia sampaikan saat melakukan pertemuan bersama kepala sekolah pada pekan lalu (23/2/2023), yang terekam dalam sebuah video berdurasi 1 menit 43 detik dan beredar di media sosial.
Menanggapi hal tersebut, Rocky Gerung yang merupakan akademisi dan intelektual publik mempertanyakan kebijakan yang terkesan sembrono tanpa memikirkan berbagai aspek itu. Hal itu ia sampaikan dalam channel youtube Rocky Gerung Official yang dikutip Poptren, Kamis (2/3).
Rocky menyoroti soal persiapan anak-anak untuk sekolah ketika harus masuk jam 5 pagi. Ia menyebut bahwa persiapan harus dilakukan sejak jam 3 pagi.
"Tidur 8 jam yang merupakan kebutuhan dasar setiap manusia itu gimana hitungnya tuh," tanya Rocky.
Ia menyebut Gubernur NTT lalai dalam pengamatan, bagaimana perispan anak sekolah juga melibatkan orangtua dalam mempersiapkan sarapan. Misalnya, sepagi itu tentu tukang sayur belum lagi lewat, lalu bagaimana dengan sarapan sang anak untuk stamina saat bersekolah.
"Lalu, apa pentingnya (masuk jam 5 pagi), dan harus dipastikan kurikulum itu mendasar," tandasnya.
"Kalau diantar pakai motor bapaknya, bapaknya masih tidur tuh. Jadi akan ada kekacauan dalam rumah tangga."
Dalam beberapa kesempatan, Gubernur NTT menyebut kebijakan itu sebagai upaya untuk menuntaskan akar permasalahan pendidikan di NTT. Namun nyatanya, para pengamat menilai bahwa kebijakan itu bukan menyelesaikan masalah, tapi menimbulkan masalah baru.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan, kebijakan masuk sekolah pukul 5 pagi tidak akan menyelesaikan akar persoalan pendidikan di NTT. Menurut pandangannya, persoalan pendidikan di wilayah tersebut lebih pada kualitas guru serta sarana dan prasarana sekolah.
Ia menyebut bahwa kebijakan pendidikan harus dilakukan berdasarkan kajian dan riset yang baik, serta dialog yang intens dengan para pemangku kepentingan.
Eksekusi kebijakan juga harus melibatkan partisipasi publik, seperti pemerintah daerah, sekolah, pengelola, orangtua, bahkan siswa yang terkena dampak.
Sumber: suara