OLEH: TONY ROSYID
Jakarta mendapat begitu banyak award dari dunia internasional dan WTP lima tahun berturut-turut. Ini tidak pernah terjadi di Jakarta sebelumnya.
Dalam memimpin Jakarta, Anies dikenal punya banyak kejutan dengan terobosan dan gagasan-gagasan barunya.
Wajar jika kemudian Anies dianggap sebagai simbol perubahan. Ini tidak berlebihan, karena semua berbasis data dan bisa dibuktikan.
Dibanding dengan nama-nama kandidat lain yang muncul seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Puan Maharani, Anies adalah satu-satunya yang memberi ekspektasi perubahan.
Sementara kandidat lain berada dalam koalisi status quo. Belum terlihat ada record perubahan yang dicatatkan oleh mereka.
Ganjar sebagai Gubernur Jateng, Prabowo sebagai Menhan, serta Puan Maharani sebagai Menko PMK dan Ketua DPR, belum kelihatan ada terobosan dan gagasan-gagasan baru yang bisa dibaca.
Pilpres 2024 pilihan yang tersedia hanya ada dua. Yaitu pro status quo atau pro perubahan. Kalau mau perubahan, pilihannya memang Anies Baswedan. Kalau mau status quo, pilihannya kandidat lain, yaitu Prabowo, Ganjar, dan Puan.
Sesederhana itu? Iya.
Dalam konteks ini, rakyat terbelah menjadi dua. Ada yang menginginkan perubahan. Ada juga yang menginginkan status quo.
Jika selama ini, status quo selalu berupaya mempertahankan kekuasaannya. Itulah yang terjadi. Ini penyakit klasik.
Wacana tiga periode, tunda pemilu, dan calonkan kolega (boneka), itu adalah upaya untuk mempertahankan status quo. Pro status quo punya aparat dan logistik. Ini modal yang bisa dipakai untuk mencegah adanya upaya perubahan. Karena itu upaya jegal Anies adalah bagian untuk mempertahankan status quo, dan menghalangi terjadinya perubahan.
Meski di kelompok pro status quo mereka bersaing satu sama lain, tapi satu kesepakatan: mereka melawan perubahan yang dipimpin oleh Anies Baswedan.
Mereka lebih nyaman jika kontestasi 2024 tidak ada nama Anies Baswedan. Tanpa Anies Baswedan, mereka bisa menerima siapapun pemenangnya. Siapapun yang kalah, bisa lebih mudah bergabung dengan yang menang. Chemistry mereka lebih nyambung.
Ada dua faktor yang memaksa mereka harus jegal Anies. Pertama, Anies tidak memberi jaminan rasa aman atas potensi dosa yang dilakukan oleh mereka yang berada di lingkaran kekuasaan.
Di sini, Anies dianggap berbahaya bagi mereka.
Kedua, mereka akan kehilangan akses kekuasaan jika Anies jadi presiden. Kemenangan Anies bisa membuat sebagian mereka pensiun.
Terkait potensi dosa yang mereka lakukan, Anies bukan tipologi pemimpin yang pendendam. Anies sosok yang taat dan tertib aturan. Semua kebijakan dan program didasarkan pada aturan.
Anies sosok pemimpin yang sangat rasional dalam sikap politiknya. Ini bisa dilihat ketika Anies menjadi Gubernur DKI. Jadi, sebenarnya, enggak perlu ada rasa takut jika tidak ada yang dilanggar.
Mengenai akses kekuasaan, Anies adalah seseorang yang profesional. Di Jakarta, Anies merangkul para profesional untuk terlibat dan ambil peran dalam membangun kota. Lepas apakah mereka pendukung atau nonpendukung. Selama punya kompetensi dan berintegritas, Anies bisa menerimanya untuk diajak berkolaborasi.
Memang, kekuasaan itu nyaman. Jika tidak pernah disadari masa akhirnya, banyak yang tidak siap untuk melepaskannya. Apalagi jika merasa ada banyak dosa, maka segala upaya dilakukan untuk mempertahankannya. Apakah dengan mempertahankannya, dosa itu terhapus? Tidak juga.
Pada akhirnya, semua dikembalikan kepada rakyat: mau perubahan atau status quo. Jika ingin perubahan, pilihan yang tersedia hanya Anies.
(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)