GELORA.CO - Wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari enam menjadi sembilan tahun banyak menuai kritik.
Alasan penolakan kebijakan baru ini antara lain adalah rawannya pemerintahan desa yang KKN sampai menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kritik soal perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun ini salah satunya datang dari Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat.
Achmad menyebut, salah satu alasan para kades itu meminta perpanjangan masa jabatan adalah agar pembangunan desa lebih maksimal.
Namun Achmad mencium kejanggalan di sini. Bahkan kemudian Achmad mengaitkannya dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden yang berkali-kali digaungkan selama Jokowi memimpin Indonesia.
"Publik pun dibuat mengernyitkan kening. Para pengamat mencium ada hal yang tidak beres. Sebab, jika masa jabatan kepala desa melebihi daripada masa jabatan Presiden, kepala daerah bahkan anggota legislatif maka hal ini menjadi sebuah paradoks," tutur Achmad lewat keterangan tertulisnya, dikutip Sabtu (21/1/2023).
Kejanggalan berikutnya, menurut Achmad, adalah ketika isu perpanjangan masa jabatan ini dikaitkan dengan polarisasi yang terjadi di masyarakat.
"Alasan polarisasi adalah alasan yang justru antitesis jika dijawab dengan perpanjangan masa jabatan presiden sebab Kepala Desa menjadi lebih dominan dan bisa terjebak dalam otoritarian skala mikro yang justru akan memperuncing polarisasi jika itu terjadi," ujar Achmad.
Menurut Achmad, semestinya para pemilih kades alias rakyat lah yang mengajukan perpanjangan masa jabatan apabila memang menginginkannya.
Namun faktanya malah kades yang berkuasa yang menyuarakan aspirasi perpanjangan masa jabatan, yang dinilai Achmad sudah keluar dari jalur demokrasi.
Achmad menyebut dikabulkannya permintaan para kades ini bisa membuat usulan perpanjangan masa jabatan kepala daerah lain, atau bahkan presiden, juga akan disepakati.
Kritik lain soal perpanjangan masa jabatan kepala desa ini juga datang dari Indonesia Corruption Watch atau ICW. Selain bernuansa politis dengan tukar guling dukungan menuju kontestasi pemilu 2024, usulan tersebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa. Sebaliknya, akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa.
Dalam keterangan resminya, ICW menyebutkan desa hari ini masih dilingkupi sejumlah masalah, mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi.
Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal. Oleh karena itu, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk didalamnya mereduksi potensi korupsi. Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa.
Tren penindakan korupsi yang dicatat oleh ICW setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa. Korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021.
Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Sumber: suara