Pemerintah akan Kurangi Jumlah Bandara Internasional, Pengamat: Pendiriannya Sekadar untuk Prestasi Politik

Pemerintah akan Kurangi Jumlah Bandara Internasional, Pengamat: Pendiriannya Sekadar untuk Prestasi Politik

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Pemerintah mengumumkan rencana untuk merampingkan jumlah Bandara Internasional dari 32 bandara menjadi hanya 14 sampai 15. Pengamat menilai ini langkah tepat, sebab tak sedikit bandara yang menyandang status internasional tapi kurang menguntungkan bagi perekonomian negara.

Pada Kamis (2/2) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengumumkan rencana pemerintah untuk memangkas jumlah bandara internasional. 

Hal tesebut dilakukan, kata Erick, untuk "menekan jumlah wisatawan domestik yang berwisata ke luar negeri".

"Bandara internasional diharapkan harus berpihak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tetap menjaga pariwisata internasional dan domestik," kata Erick Thohir di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Jumlah bandara internasional di Indonesia yang sekarang 32, lanjut Erick, akan dipangkas menjadi "14-15 bandara" saja.

Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai keputusan pemerintah sudah tepat. Sebab menurutnya, banyak bandara yang didirikan namun kurang menarik minat wisatawan asing. 

“Bandara-bandara internasional itu hanya memfasilitasi orang Indonesia ke luar tapi tidak mendatangkan warga dari negara lain ke Indonesia, jadi secara ekonomi itu tidak menguntungkan Indonesia,” ujar Alvin.

Sementara, juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan rencana untuk memangkas jumlah bandara internasional masih dalam tahap pembahasan.

Pengalaman buruk warganet di bandara internasional yang 'mangkrak' 

Pada Juli 2019,  Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati berhenti melayani penerbangan reguler berjadwal karena sepi penumpang.

Beberapa menyebut bandara tersebut ‘mangkrak’ dan ‘sulit terjangkau’  aksesnya, seperti yang dikisahkan seorang warganet di Twitter.

Sesampai di Bandara Kertajati, ia mengatakan tidak menemukan angkutan umum maupun taksi. Alhasil, ia terpaksa jalan kaki melewati pesawahan dan perkebunan agar dapat sampai rumah.

“Maksa bangun tapi belum siap infrastruktur,” katanya.


Kemudian, seorang pelaku perjalanan lain menyebut Bandara Kertajati bagaikan ‘bengkel’ karena suasananya yang sepi. 

Ia hanya melihat satu penumpang lain di gerbong kereta menuju bandara selain dirinya sendiri.


Ada juga seorang warganet yang mengatakan ia pernah mengalami pemadaman listrik saat berada di Bandara Kertajati. 

Ia mengaku kaget karena itulah pertama kalinya dia mengalami mati lampu di sebuah bandara.


Pakar penerbangan Alvin Lie mengatakan bahwa Bandara Kertajati sempat ‘mati suri‘. Kini, bandara tersebut mencoba dibangkitkan lagi dengan penambahan rute umroh dan haji.

"Memang Kertajati itu sudah susah, konektivitasnya susah. Sudah pernah dipaksakan beberapa airline diwajibkan terbang ke sana. Setelah terbang dua minggu, tiga minggu, berhenti karena enggak ada penumpang,” katanya.

Selain isu konektivitas, sambung Alvin, Bandara Kertajati juga menjadi opsi kedua bagi pelaku perjalanan. Sebab, ekosistem sekitar bandara dan jumlah rutenya yang terbatas membuat warga Bandung lebih memilih melakukan perjalanan ke Jakarta dan terbang dari Bandara Internasional Halim Perdanakusuma atau Bandara Soekarno-Hatta.

“Warga Bandung itu daripada terbang dari Kertajati mending ke Jakarta. 

“Pilihan rutenya banyak, pilihan airline-nya banyak, jadwalnya banyak,” ujar Alvin.

Dian Nurrahman, VP Corporate Secretary and General Administration BIJB Kertajari Majalengka, menyampaikan Bandara Kertajati berencana membuka 12 rute domestik dan internasional. 

Ini akan dilakukan setelah Tol Cisumdawu selesai dibangun pada Februari ini, kata dia.

Tol Cisumdawu, yang memiliki panjang sekitar 60,3 kilometer, akan menghubungkan beberapa daerah antara lain: Cileunyi, Sumedang, dan Dawuan.

“Tentu kami berharap 12 penerbangan tambahan ini dapat terealisasi. Dukungan dari banyak pihak sangat dibutuhkan," kata Dian seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (25/1).

'Masih dalam pembahasan'

Juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan bahwa rencana untuk memangkas jumlah bandara internasional dari 32 menjadi 15 bandara masih dalam tahap pembahasan.

“Rencana itu masih kita bahas bersama stakeholders. Untuk saat ini ketentuan bandara sebagai entry point internasional masih merujuk ke Surat Edaran,” kata Adita kepada BBC News Indonesia.

Adita merujuk pada Surat Edaran Nomor 89 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Luar Negeri Dengan Transportasi Udara Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Dalam surat tersebut, terdapat 16 Bandara Internasional yang melayani penerbangan rute internasional, yakni: 

1. Bandara Soekarno Hatta, Banten
2. Bandara Juanda, Jawa Timur
3. Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali
4. Bandara Hang Nadim, Kepulauan Riau
5. Bandara Sam Ratulangi, Sulawesi Utara
6. Bandara Zainuddin Abdul Madjid, Nusa Tenggara Barat
7. Bandara Kualanamu, Sumatera Utara
8. Bandara Hasanuddin, Sulawesi Selatan
9. Bandara Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
10. Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh
11. Bandara Minangkabau, Sumatera Barat
12. Bandara Sultan Aji Mahmud Sulaiman, Sepinggan, Kalimantan Timur
13. Bandara Sultan Syarif Kasim II, Riau
14. Bandara Kertajati, Jawa Barat
15. Bandara Sentani, Papua
16. Bandara Halim Perdanakusuma, DKI Jakarta.

Status bandara internasional hanya ‘prestasi politik’ semata

Pakar penerbangan Alvin Lie mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemerintah daerah mengajukan agar pemerintah mendirikan bandara di daerah mereka agar turis asing dapat langsung berkunjung dan menikmati budaya lokal. 

Namun, menurut Alvin, sebagian besar dari bandara-bandara tersebut hanya melayani segelintir penerbangan internasional.

"Padahal begitu status itu diubah ke internasional, ada beban biaya tetap pada pemerintah,” ujar Alvin.\

Menurut data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Bandara Internasional Yogyakarta dan Bandar Udara Internasional Pulau Lombok hanya melayani dua penerbangan internasional ke Singapura dan Kuala Lumpur.

Sementara, Bandar Udara Internasional Minangkabau, Bandara Udara Internasional Sam Ratulangi di Manado, dan Bandara Internasional Hang Nadim di Batam malah hanya punya satu rute internasional, Malaysia atau Singapura saja.

“Dengan jumlah penerbangan yang cuma satu atau dua penerbangan saja dan jumlah penumpangnya tidak banyak itu tidak sepadan dengan biaya-biaya dan implikasi organisasi yang menjadi beban pemerintah," tukas Alvin.

Mantan anggota Ombudsman itu menjelaskan bahwa bukan hanya biaya pembangunan bandara yang bisa mencapai miliaran hingga triliunan yang tinggi. Biaya perawatan dan biaya operasional yang disedot oleh aktivitas bandara meski sedikit pesawat yang terbang tentu sangat besar.

"Biaya perawatan bandara tidak murah karena bandara itu harus disertifikasi standar keselamatannya, permukaan landasan pacu tidak boleh ada aspal yang mengelupas. Kemudian alat pandu navigasinya itu harus semuanya berfungsi. Biaya-biaya operasional seperti pelayanan navigasi itu juga harus ada, jadi tidak sekadar membangun,” katanya.

Lebih dari itu, ia menilai bahwa pembangunan bandara lebih dilatari sebagai komoditas politik. 

Sebab, didirikannya bandara internasional di suatu daerah seakan-akan menaikkan standar wilayah tersebut karena bisa menghadirkan akses bagi warganya yang ingin terbang ke luar negeri sekaligus mendatangkan turis asing.

"Saya menduga, banyak kepala daerah yang menjadikan bandara sebagai prestasi politik, pokoknya bangun punya bandara, setelah jadi bandara tidak ada penerbangan di sana. Setelah punya bandara enggak bisa menghidupi bandaranya. Tidak ada penerbangan yang datang."

Menurut Alvin, seharusnya kata internasional itu sendiri dihapus sehingga semua bandara sama-sama dapat melayani rute domestik maupun internasional, tanpa harus dibeda-bedakan.

"Kata internasional itu dikejar sebagai gengsi. Coba saja, Bandara Silangit, dulu dipaksakan jadi internasional. Dulu beberapa kali penerbangan sepi kan, enggak ada penerbangan lagi, tapi yang penting ada kata internasionalnya di sana,” ujarnya.

Alvin mengatakan bahwa salah satu faktor yang menjadikan bandara internasional semakin marak di masyarakat adalah sifat Presiden Joko Widodo yang terlalu membanggakan bandara internasional. Pasalnya, ia seringkali berkunjung ke daerah dan meminta dibangun bandara internasional.

“Jadi ketika presiden datang, ini harus dibuka rute internasional, dibuka. Dan itu pun yang menggunakan jasanya orang kita yang ke sana (luar negeri), bukan orang Singapura yang datang ke Indonesia,“ kata Alvin.

Terakhir kali Presiden Jokowi meresmikan bandara adalah saat perluasan Bandara Komodo di Labuan Bajo, Juli 2022. 

Kala itu, ia memuji keindahan alam yang ada di daerah tersebut dan sekitarnya, serta menyuarakan harapannya agar semakin banyak wisatawan dalam negeri maupun luar negeri yang berkunjung.

"Labuan Bajo ini komplet, budaya ada, pemandangan sangat bagus, pantainya cantik, dan di dunia yang enggak ada, enggak ada di tempat lain itu ada yaitu komodo yang ada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. 

"Kekuatan inilah yang harus kita pakai untuk mensejahterakan rakyat kita di sini," ujar Jokowi pada upacara peresmian Bandar Udara Komodo Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat, pada 21 Juli 2022.

"Kita harapkan dengan tambahannya turis baik dari mancanegara maupun wisatawan nusantara Labuan Bajo menjadi makin dikenal dan yang paling penting bisa mensejahterakan masyarakat kita utamanya khususnya masyarakat Nusa Tenggara Timur," tambahnya.

Bandara internasional mayoritas melayani WNI daripada WNA

Data dari Kementerian Perhubungan menunjukan bahwa pelaku perjalanan udara sepanjang 2022 masih didominasi oleh warga negara Indonesia (WNI) sebesar 53%, dibandingkan warga negara asing sebanyak 47%.

Kantor Imigrasi Bandara Internasional Soekarno-Hatta mencatat bahwa WNI mencakup 70% dari pelaku perjalanan sepanjang 2022, yani sebanyak 2,52 juta penumpang. 

Sedangkan, jumlah WNA hanya 30% dari total pelaku perjalanan pada 2022. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak masyarakat Indonesia yang berpergian ke luar negeri dibandingkan turis asing berkunjung ke Indonesia, kata Alvin Lie.

"Kenyataannya pengguna bandara-bandara internasional itu, bahkan ada yang 90% itu WNI, jadi bandara-bandara internasional itu hanya memfasilitasi orang Indonesia ke luar,” kata Alvin.

Dia mengatakan, dari 32 bandara internasional yang kini beroperasi di Indonesia, hanya ada satu bandara yang jumlah penumpang asingnya lebih banyak daripada penumpang Indonesia, yakni Bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali. 

Data dari dari Kantor Imigrasi Bandara Ngurah Rai menunjukkan bahwa jumlah WNI yang berangkat per Juni 2022 sebanyak 13.348 orang. Sedangkan, jumlah WNA yang datang ke Bandara Ngurah Rai sebanyak 182.380 orang. 

Untuk ke depannya, Alvin mengatakan bahwa setiap pemerintah daerah yang ingin memiliki bandara internasional, perlu membuat proposal promosi daerah tersebut ke luar negeri, lengkap dengan rencana implementasi dan anggaran.

Hal ini dilakukan supaya dapat memastikan akan ada minat bagi wisatawan asing untuk terbang langsung ke daerah tersebut melalui bandara internasional.

“Saran saya bagi daerah-daerah yang menginginkan bandaranya itu menjadi bandara internasional harus mengajukan rencana pemasaran wisatanya di luar negeri. Kalau tidak ada itu dan tidak melaksanakan itu, lebih baik enggak usah di-internasional-kan,” tutur Alvin.

Sumber: bbc
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita