GELORA.CO - Pengamat politik Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah mengatakan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) jika bergabung akan menguntungkan kubu Prabowo Subianto.
"Bergabungnya KIB dan KKIR, tentu akan menguntungkan calon yang memiliki elektabilitas kuat dan yang memang sudah santer dicalonkan sebagai capres di internal kedua koalisi, yakni Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto," ujar Herdiansyah Hamzah di Samarinda, Kamis (16/2/2023).
Apabila melihat peta suara untuk ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold), menurutnya kedua koalisi tersebut memenuhi syarat minimal 20 persen kursi parlemen sehingga jika total anggota DPR berjumlah 575 orang, maka koalisi minimal harus memiliki 115 kursi untuk mengajukan capres.
KIB yang terdiri dari Partai Golkar, PPP, dan PAN memiliki 148 kursi. Sementara itu, KKIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB memiliki 136 kursi.
"Kalau kedua koalisi ini bergabung, maka secara matematis akan memegang jumlah kursi dominan," ujar Herdiansyah.
Menurutnya, perhitungan tersebut hanya di atas kertas yang tentu tidak selalu linear dengan kondisi di lapangan, yang pasti, bergabungnya kedua koalisi itu hanya akan melahirkan tiga poros, yakni koalisi KIB dan KKIR, koalisi perubahan, dan PDIP yang menjadi satu-satunya partai yang bisa mengajukan calon sendiri tanpa koalisi.
Herdiansyah memandang bahwa Prabowo dan Airlangga kemungkinan menguat untuk dipasangkan. Sementara, calon lain seperti Muhaimin dan Zulhas hanya akan jadi alternatif.
"Bagi saya, bergabungnya KIB dan KKIR ini justru makin menutup ruang bagi calon-calon alternatif, jadi kemungkinan kita tidak akan melihat nama-nama baru dalam koalisi ini, tetapi nama-nama yang sudah seringkali kali nyapres sejak dua sampai dua kali pemilu sebelumnya seperti Prabowo," papar Herdiansyah.
Menurutnya, terlepas dari dinamika koalisi ini, yang paling dirugikan sebenarnya adalah publik luas, karena perbincangan capres-cawapres itu hanya menjadi konsumsi elit politik dan partai-partai di parlemen, tidak pernah sampai ke bawah.
Herdiansyah menambahkan bahwa kondisi seperti itu membuat publik luas tidak diberikan ruang partisipasi memadai, jadi bisa dikatakan proses pemilu presiden ini semacam demokrasi elit politik, bukan demokrasi rakyat.
"Rakyat hanya dijadikan lumbung suara, perannya diabaikan dalam perbincangan capres-cawapres sejak awal, dan inilah wajah busuk demokrasi kita hari ini," tandasnya.
Sumber: suara