OLEH: WIDIAN VEBRIYANTO
KASUS penganiayaan Mario Dandy Satriyo terhadap David Latumahina berbuntut panjang di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Ini lantaran warganet ramai-ramai menguliti identitas Mario yang tidak lain adalah anak dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan menjabat sebagai Kepala Bagian Umum di Kanwil DJP Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo. Harta Rafael Alun seketika menjadi konsumsi publik lantaran jumlahnya yang jumbo.
Seperti disebar akun Twitter @logikapolitik, didapat bahwa Rafael memiliki rumah mewah di Jakarta, Yogyakarta, dan Manado. Deretan mobil mewah juga menjadi penghias garasi rumah, mulai dari Toyota Hilux, Toyota Camry, dan Land Cruiser.
Tidak hanya itu, video Mario Dandy pamer Jeep Rubicon dan Harley Davidson juga ikut disebar.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rafeal turut diungkap ke publik. Totalnya mencapai Rp 56,10 miliar per 31 Desember 2021. Angka yang fantastis untuk pejabat eselon III.
Sri Mulyani Kagetan
Tidak hanya publik yang kaget dengan harta Rafael, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga merasakan hal serupa. Bahkan dia langsung memecat Rafael dengan alasan suka flexing atau memamerkan kekayaan di media sosial. Katanya, gaya yang demikian bisa menimbulkan erosi kepercayaan terhadap integritas Kemenkeu dan menciptakan reputasi negatif kepada seluruh jajaran Kemenkeu yang telah dan terus bekerja secara jujur, bersih dan profesional.
Sepintas apa yang disampaikan Sri Mulyani benar. Dia juga tampak heroik dengan mencopot Rafael. Tapi muncul pertanyaan, apa jadinya kalau kasus penganiayaan Mario Dandy Satriyo terhadap David Latumahina tidak terjadi. Bukankah Rafael dan anaknya tetap bisa pamer kekayaan di media sosial?
Di sini Sri Mulyani justru tampak seperti seorang pemimpin kementerian yang kagetan. Dia seolah tidak menyadari bahwa selama ini anak buahnya kerap pamer di media sosial. Padahal, khusus untuk Rafael, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memberi laporan kekayaan ke KPK era Abraham Samad di tahun 2012. Seharusnya, Sri Mulyani bisa ikut merespons laporan tersebut.
Teranyar, Menkeu berpredikat terbaik dunia itu meminta agar klub Blasting Rijder DJP dibubarkan. Klub ini berisi komunitas pegawai pajak yang menyukai motor besar. Lagi-lagi, Sri Mulyani seperti kebakaran jenggot dan seolah menampilkan diri sebagai hero dengan adanya perintah pembubaran tersebut. Padahal sejatinya dia kebobolan.
Bagaimana dengan Utang?
Catatan utang Indonesia di tangan Sri Mulyani tidak boleh dianggap enteng. Angkanya per Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 39,57 persen kerap kali dianggap masih aman. Alasannya karena berdasarkan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, batas rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap PDB.
Tidak boleh dianggap enteng karena utang Indonesia bertambah Rp 6 triliun per hari. Hitungannya, per November 2022 utang berada pada posisi Rp 7.554, 25 triliun artinya ada kenaikan sebesar Rp 179,74 triliun dalam sebulan.
Pertanyaannya kini, apakah perhitungan utang tersebut benar-benar dalam kendali Sri Mulyani? Bagaimana jika Sri Mulyani juga kaget seperti dia kaget dengan gaya anak buahnya yang kerap pamer di media sosial?
Sudah saatnya Jokowi mengoreksi kerja-kerja Sri Mulyani. Jokowi sebagai pemimpin orkestrasi pemberantasan korupsi juga perlu memerintahkan Ketua KPK Firli Bahuri untuk melakukan pemeriksaan terhadap seluruh pejabat di kementerian yang dipimpin Sri Mulyani.