Indkes Persepsi Korupsi RI Anjlok, Pukat UGM: Pemerintahan Jokowi Gagal Berantas Korupsi

Indkes Persepsi Korupsi RI Anjlok, Pukat UGM: Pemerintahan Jokowi Gagal Berantas Korupsi

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 turun 4 poin dari tahun 2021. Tahun ini, IPK Indonesia hanya 34 poin. Angka ini diikuti penurunan peringkat dari 96 dunia jadi 110 dunia.

"Ini menunjukkan gagalnya strategi pemberantasan korupsi di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo," kata Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, Rabu (1/2).

Skor IPK tahun ini sama seperti tahun 2014 ketika Jokowi pertama kali menjabat. Selama Jokowi memimpin, memang skor IPK ini sempat naik, termasuk di angka 40 pada 2019. Namun, pada tahun ini terjadi penurunan drastis.

"Menurut saya ini legasi yang sangat buruk dari pemerintahan Presiden Jokowi dan tentu nanti kita akan memberikan saran-saran perbaikan," katanya.

Soal mengapa IPK 2022 itu turun drastis, menurut Zaenur jawabannya adalah naiknya risiko korupsi politik.

"Jadi menurut beberapa indeks ya, karena indeks persepsi korupsi itu adalah indeks kombosit yang disusun menggunakan 8 indeks lain ya. Indeks-indeks sebagai data sumber data dari indeks persepsi korupsi itu menunjukkan risiko korupsi itu meningkat drastis. Sehingga itu memperburuk situasi korupsi di Indonesia," katanya.

Dia mencontohkan, misalnya political risk service (PRS) merupakan indeks yang menilai apakah ada korupsi dalam sistem politik. Misal konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha maupun adanya pembayaran suap di dalam ekspor impor.

"Korupsi politik ini dalam indeks PRS indeksnya itu turun drastis artinya itu mengalami perburukan kemunduran dari 48 di tahun 2021 turun menjadi 35 di tahun 2022," jelasnya.

Angka itu menunjukkan bahwa pada 2022 terjadi banyak korupsi yang terkait dengan politik. Contohnya kasus korupsi kepala daerah, pejabat eksekutif maupun legislatif. Selain ada konflik kepentingan para politisi yang memegang kewenangan di bidang eksekutif dan legislatif dengan para pebisnis.

"Misal dengan keputusan-keputusan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan pebisnis dan merugikan kepentingan rakyat dan disertai dengan suap menyuap di dalam izin ekspor dan impor dan seterusnya," katanya.

Naiknya korupsi politik juga ditunjukkan dari menurunnya indeks World Competitivness Yearbook. "Artinya memang terkonfirmasi dari dua indeks ini saja terkonfirmasi korupsi politik itu meningkat drastis di tahun 2022," katanya.

"Jadi kalau ditanya apa yang menyebabkan penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia 2022? Jawabannya adalah korupsi politik yang meningkat di tahun 2022," katanya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Apabila pemerintahan Presiden Jokowi ingin memiliki peninggalan yang bisa dikenang masyarakat maka pertama harus ada perbaikan di bidang hukum. Menurut Zaenur bidang ini memiliki indeks paling bawah yaitu skor 24 untuk rule of law.

Jika sektor ini bisa diperbaiki, skor IPK akan meningkat drastis.

"Cara memperbaiki? Reformasi hukum di Indonesia, dengan mereformasi institusi penegak hukum, aparat penegak hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang penegakkan hukum. Yaitu mereformasi kepolisian, kejaksaan dan reformasi sistem hukumnya," katanya.

Reformasi hukum dapat dilakukan dengan mereformasi dasar hukumnya yaitu KUHAP. Selama ini KUHAP memberi banyak kewenangan bagi aparat penegak hukum. Makanya, kerap terjadi abuse of power, termasuk korupsi.

"Kedua adalah mereformasi rekrutmen, promosi, mutasi, dan mereformasi kesejahteraan bagi aparat penegak hukum. Setiap hari kita sebagai rakyat disuguhkan berbagai masalah di institusi penegakkan hukum dengan banyaknya penegak hukum yang melakukan korupsi maupun pelanggaran-pelanggaran lain. Oleh karena itu sisa jabatan Pak Presiden Jokowi lakukan lah reformasi institusi di penegak hukum," katanya.

Selain itu pengawasan juga perlu ditingkatkan. Misalnya, membuat institusi pengawas aparat penegak hukum yang independen. Pemberantasan korupsi juga dapat dipercepat dengan mengesahkan RUU perampasan aset hasil kejahatan dan RUU transaksi pembatasan tunai.

"Kalau aparat penegak hukumnya sudah bersih, diandaikan sebagai sapu maka bisa menyapu korupsi dari republik ini. Selama institusi penegak hukum, sistem penegak hukumnya belum bersih maka penegakkan hukum itu tidak akan pernah bisa diharapkan adil dan korupsi akan terus terjadi. Jadi memang prasyaratnya adalah melakukan reformasi di hukum," katanya.

Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pada politiknya itu sendiri. Seperti diketahui pada 2022 kemunduran secara spesifik disumbang oleh korupsi politik. Pada 2023, risiko korupsi politik akan meningkat karena banyak politisi akan ikut kontestasi di tahun politik 2024.

"Diharapkan harus ada demokratisasi di internal partai politik. Harus ada partisipasi dari masyarakat untuk menolak segala macam bentuk korupsi politik," katanya.

"Terakhir saya ingin mengingat bahwa skor 34 itu sama dengan situasi dengan di 2014 artinya presiden Jokowi belum punya kontribusi dalam pemberantasan korupsi. Kalau kita bandingkan dengan zaman pemerintahan SBY pertama menjabat 2004 skor IPK 20 selesai menjabat 2014 skor IPK 34, artinya ada kontribusi 14 poin di masa pemerintahan SBY," pungkasnya.

Sumber: kumparan
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita