GELORA.CO - Anggota MPR Fraksi Demokrat Wahyu Sanjaya heran ada pihak yang terus mendesak pemilu digelar proporsional tertutup atau hanya coblos partai. Ia mengingatkan, pemilu proporsional terbuka yang saat ini berlaku adalah salah satu hasil reformasi.
"Kalau ini dikembalikan pada sistem tertutup di mana kita hanya mencoblos logo partai, kesempatan bagi rakyat untuk mengenal lebih jauh calonnya itu menjadi kurang bagus, tidak sesuai yang terjadi selama ini," kata Wahyu dalam diskusi terkait kontroversi sistem pemilu di Gedung DPR Senayan, Rabu (22/2).
"Kita kan sudah capek kemarin, karena reformasi, masa kita mau balik lagi ke sistem tertutup? Saya juga bingung sebenarnya," imbuh dia.
Wahyu juga tak sepakat dengan gugatan sistem proporsional terbuka yang sedang berlangsung di Mahkamah Agung. Ia memandang perubahan sistem pemilu adalah wewenang pemerintah dan DPR.
"Kalau katanya ada yang mengugat di MK, kalau kami melihatnya masalah tertutup dan terbuka itu domainnya di DPR, bukan di tempat lain," ujarnya.
"Tetapi yang namanya sekarang politis kita enggak tahu. Wallahualam, kenapa bisa sampai gaduh sampai ada gugatan ke MK seperti saat ini," tambah dia.
Hadir pada kesempatan yang sama, Anggota MPR Fraksi Golkar Dave Laksono mengatakan memang tak ada sistem yang sempurna. Tetapi ia meyakini, sistem terbuka lebih baik dan demokratis.
"Cuma dengan sistem politik yang sekarang ini proporsional terbuka, pemilihan kepala pemerintahan pusat hingga daerah, hingga desa secara langsung, ini kan memberikan otoritas, amanah, kesempatan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang rakyat inginkan. Baik menjadi perwakilannya dari tingkat ke kabupaten/kota hingga DPD dan DPR RI," papar dia.
"Kesempatan itu jangan sampai dilucuti lagi. Jangan sampai hanya untuk kepentingan elite oligarki, penguasa ataupun partai, sistem yang sudah bagus ini itu dirusak, dikembalikan," imbuh dia.
Dave yakin jika sistem pileg tertutup atau coblos partai ditetapkan, maka kegiatan legislatif di daerah pemilihan akan meredup.
"Bisa dilupakan turun ke bawah, reses-reses. Kalau misalnya kita itu sudah tidak lagi mencoblos nama, kembali ke proporsional tertutup, ya fungsi aspirasinya itu sudah otomatis akan berkurang bahkan hilang, ya kita ngapain capek-capek turun ke bawah, tinggal tunggu partai yang nentuin, ya biar saja, adi akhirnya partai yang harus bekerja, partai yang harus turun, akhirnya akan bertumpu pada satu, dua figur," pungkas dia.
PDIP menjadi satu-satunya parpol di Senayan yang mendorong sistem pemilu proporsional tertutup. Sementara 8 lainnya termasuk Demokrat dan Golkar, menolak.
PDIP memandang pemilu proporsional terbuka menghasilkan caleg yang hanya berbasis popularitas dan kurang berkualitas, serta biaya kampanye mahal.
Ada enam pemohon gugatan sistem pemilu proporsional terbuka di MK. Dalam gugatannya, pemohon meminta MK mengabulkan permohonan agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup atau coblos gambar partai, bukan nama caleg.
Yang tertulis dalam gugatan UU Pemilu di MK tersebut ialah:
1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)
Sumber: kumparan