GELORA.CO - Kali kedua Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait pernikahan beda agama. Terbaru, gugatan pria Katolik yang hendak menikahi wanita beragama Islam.
Putusan tersebut dibacakan Ketua MK, Anwar Usman dalam persidangan hari ini, Selasa 31 Januari 2023. Permohonan tersebut dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Pemohon dalam gugatan ini yakni E Ramos Petege, seorang pria beragama Kristen. Permohonan gugatan ini teregister dalam perkara Nomor 24/PUU-XX/2022.
Objek pengujiannya yakni UU Perkawinan ini diajukan oleh E Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Dikutip dari laman MK, perkawinan Ramos harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan.
Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan.
Dalam persidangan, pemohon menghadirkan dua ahli yakni Ade Armando dan Rocky Gerung.
Ade Armando mengatakan, tidak ada satu pun teks di dalam Al-Qur’an yang mengharamkan semua bentuk pernikahan antar agama.
Hal yang secara jelas disebutkan dilarang, sambung Ade, hanyalah pernikahan antara muslim dengan musyrik dan kafir.
Sehingga tidak ada yang menyatakan pernikahan beda agama termasuk antara muslim dengan Nasrani adalah sesuatu yang haram.
“Jadi, yang berlangsung adalah perbedaan tafsir, dan perbedaan ini yang menyebabkan perbedaan keyakinan memahami aturan mengenai perkawinan beda agama,” kata Ade.
Sementara Rocky Gerung berpendapat, UU Perkawinan justru bermasalah karena mengatur yang disediakan oleh alam.
Perkawinan adalah peristiwa perdata dan di dalam undang-undang disebut sebagai hak dan bukan kewajiban. Dalam undang-undang tersebut jelas mengatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.
Sehingga hak dapat dimaknai sesuatu yang boleh diambil atau dilaksanakan dan boleh tidak. Kedudukan hak tersebut adalah fakultatif bukan imperatif.
“Oleh karena itu perkawinan adalah hak dan bukan kewajiban. Jika seseorang menggunakan haknya, maka negara harus mencatatkannya secara administratif bahwa dia telah menggunakan haknya,” jelas Rocky.
Demikian juga hak beragama, menurut Rocky, juga bukan kewajiban sehingga negara tidak boleh menyuruh orang untuk beragama. Sehingga, dari dua hak yang bersifat fakultatif ini, negara tidak punya alasan menjadikannya menjadi imperatif atau keharusan. Maka, hal ini dipandang Rocky menjadi sebuah kekacauan logis yang berakibat pada paradoks.
Oleh karena itu, setiap perkawinan adalah keputusan privat setiap orang yang harus dilayani oleh negara. Maka, demi ketegasan tentang hak dan kewajiban negara hanya boleh mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa perdata.
“Yang jadi masalah sekarang adalah negara memanfaatkan agama untuk mengatur kamar tidur orang, itu enggak boleh. Demikian sebaliknya, agama memanfaatkan negara untuk mengintip kamar tidur orang, itu juga enggak boleh. Bahwa kemudian itu dosa, segala macam, itu urusan dia dengan akhirat nanti itu. Bukan urusan negara untuk memastikan hal-hal yang bersifat privat itu,” jelas Rocky.Sedangkan ahli dari Dewan Da’wah, Teten Romly Qomaruddien, menyebut pernikahan beda agama menimbulkan kemudharatan. Menurut Teten, sebagai bangsa yang beragama maka perlu memperhatikan pentingnya menempatkan falsafah negara yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi dalam bingkai NKRI. (*)
Sumber: herald