OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
SELAMA ini terdapat perbedaan pandangan yang sangat tajam antara DPR RI dengan sebagian “kecil” dari masyarakat, yaitu masyarakat yang bersikap kritis terhadap utang pemerintah.
Utang pemerintah yang secara total terakumulasi semakin besar, bahkan muncul gelar bersifat spektakuler tentang Raja Utang.
Yang dipersoalkan oleh sebagian “kecil” dari masyarakat, ternyata bukan hanya soal total akumulasi utang pemerintah, melainkan juga soal rutinitas ketergantungan dari pemerintah yang senantiasa menambah utang-utang yang baru untuk dapat mampu membayar angsuran utang pokok dan cicilan utang.
Angsuran tersebut sangat terkesankan hanya dapat dibayar, apabila diperoleh utang-utang yang baru. Perolehan nilai utang yang baru musti senantiasa lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan untuk membayar angsuran utang pokok dan cicilan utang pemerintah.
Misalnya, untuk mampu membayar bunga utang dalam negeri dan luar negeri sebesar Rp 441,4 triliun pada tahun 2023, maka pemerintah mesti berhasil membiayai APBN dari sumber utang yang baru sebesar Rp 696,3 triliun, di samping untuk memperoleh sumber pembiayaan lainnya guna melengkapi pembiayaan APBN tahun 2023.
Dengan semakin besar tekanan utang tersebut, membuat suku bunga Surat Utang Negara 10 tahun menjadi semakin mahal. Kebijakan moneter menjadi semakin ketat. Ditambahkan semakin melemahnya kinerja lifting minyak mentah dan gas, membuat pendapatan negara dari sumber minyak mentah dan gas semakin berkurang.
Terjadilah paradoks negara yang dahulu surplus migas dan sejak semula menjadi anggota OPEC, namun sekarang menjadi pengimpor netto migas dengan diikuti oleh akumulasi utang pemerintah yang semakin besar.
Mismanajemen pengelolaan Sumberdaya Alam migas dan desain perencanaan APBN yang seperti itu sungguh semakin menjadikan persoalan keberlanjutan fiskal menjadi sangat penting dan menantang DPR RI dan pemerintah untuk senantiasa sibuk mencari solusi-solusi, yang bersifat elegan.
DPR selama ini terkesan senantiasa menyetujui RAPBN, ketika pemerintah mengajukan angka defisit primer dan defisit anggaran yang angkanya menurun, sekalipun tanpa solusi mujarab untuk mengatasi persoalan kejar-kejaran antara kebutuhan membayar angsuran utang pemerintah dibandingkan semakin besar pembiayaan APBN yang bersumber dari utang pemerintah.
Harga BBM dan gas yang semakin mahal turut menambah beban biaya hidup rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah menjadi semakin terasa berat. Laju inflasi pun naik.
Dengan kebijakan moneter semakin diperketat untuk merespons kebutuhan utang negara yang naik dan semakin tingginya laju inflasi, maka kondisi perekonomian tersebut membuat harga barang kebutuhan pokok menjadi semakin mahal.
Sekalipun pemerintah memberikan subsidi, Bantuan Langsung Tunai, bantuan sosial, menaikkan upah, serta berusaha melakukan efisiensi anggaran dan efisiensi birokrasi, namun ketergantungan APBN dibiayai utang perlu solusi.
(Peneliti Indef dan Pengajar Universitas Mercu Buana)