GELORA.CO - Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya, Kombes Latif Usman, menegaskan pihaknya bersikap jujur dan adil saat menangani kasus mahasiswa UI yang tewas tertabrak.
Seperti diketahui, penanganan kasus ini menuai pro kontra, karena polisi tak menetapkan purnawirawan AKBP Eko Setia Budi Wahono sebagai tersangka karena sudah menabrak mahasiswa UI, Muhammad Hasya Atallah Saputra, hingga tewas.
Menurut Latif, purnawirawan Eko sudah berada di jalur yang benar.
"Karena dari keterangan saksi tidak bisa dijadikan tersangka, dia (Eko) dalam posisi hak utama jalan pak Eko ada di jalan utamanya," kata Latif, Jumat (27/1/2023).
"Jadi dia (almarhum Hasya) istilahnya, merampas hak lain. Karena pak Eko berada di lajurnya, karena ini kan cuma dua arah, dan pas jalannya kanan kiri sesuai dengan aturannya pak Eko berada di hak utama jalannya pak Eko," lanjutnya.
Sementara itu, Polda Metro Jaya telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus kecelakaan itu.
"Setelah kita lakukan gelar perkara bersama sebanyak tiga kali, dari hasil keterangan saksi, bekas jatuh kendaraan, akhirnya kita mengambil kesimpulan, kasus ini SP3," tuturnya.
"Kecelakaan itu kan diawali dari pelanggaran, maka untuk mengantisipasi adanya pelanggaran tentu lengkapi alat keselamatan, tentu di luar harus berhati-hati juga lengkapi alat keselamatan, ini yang menjadi utama terkait keselamatan," lanjutnya.
Menurut Latif, penetapan Hasya sebagai tersangka mesti melihat dari penyebab kecelakaan.
Hasya tewas dalam kecelakaan tersebut di kawasan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, karena kelalaiannya sendiri.
"(Untuk) pelanggarannya, jadi gini penyebab terjadinya kecelakaan ini si korban sendiri," ujar Latif.
"Kenapa dijadikan tersangka? Dia kan yang menyebabkan, karena kelalaiannya menghilangkan nyawa orang lain dan dirinya sendiri. Karena kelalaiannya jadi dia meninggal dunia," sambungnya.
Oleh sebab itu, ia menuturkan bahwa penyebab kecelakaan bukan berasal dari Eko Setia Budi Wahono.
"Karena kelalaiannya korban dalam mengendarai sepeda motor hingga nyawanya hilang sendiri. Jadi yang menghilangkan nyawanya karena kelalaiannya sendiri, bukan kelalaian pak Eko," katanya.
Menurut Latif, Hasya kurang hati-hati saat mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan kurang lebih 60 kilometer per jam pada saat itu.
Tiba-tiba kendaraan di depan Hasya belok ke kanan sehingga Hasya rem mendadak.
Bersamaan dengan itu, mobil Pajero yang dikemudikan Eko Setia berada di lajurnya, sedangkan Hasya jatuh ke kanan.
"Sehingga tergelincir dia (Hasya). Ini keterangan dari si temannya (Hasya). Temannya sendiri melihat dia tergelincir sendiri. Nah Pak Eko dalam waktu ini sudah tidak bisa menghindari karena sudah dekat," ujar Latif.
"Jadi memang bukan terbentur dengan kendaraan Pajero, tapi jatuh ke kanan diterima oleh Pajero. Sehingga terjadilah kecelakaan," sambungnya.
Duka Mendalam
Duka mendalam masih dirasakan Adi Syaputra, ayah dari Hasya. Terhitung, sudah 100 hari sang anak pergi untuk selama-lamanya akibat kecelakaan itu atau sejak 6 Oktober 2022 lalu.
Ia menceritakan, saat awal-awal anaknya kecelakaan, tak ada komunikasi dengan Eko Setia Budi Wahono yang diduga menabrak anaknya itu.
"Hampir 25 hari, tidak ada informasi dari pihak yang bawa mobil itu, tidak ada komunikasi dengan saya sedikit pun," kata Adi.
Pada akhir 2022 lalu, ia bersama istri Dwi Syafiera Putri mendatangi Subdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, Pancoran, Jakarta Selatan.
Kedatangannya itu atas undangan dari pihak Subdit Gakkum terkait kasus kecelakaan tersebut.
"Di situ kami datang berenam kalau tidak salah, bertujuh, tapi begitu kami sampai, kami dipisahkan oleh petugas di sana," kata dia.
"Nah, jadi hanya kami berdua, suami istri orangtua korban yang boleh masuk. Sedangkan kakak-kakak dari ILUNI FH UI ini tidak diperkenankan masuk. Di dalam itu pun tersampaikan, menyampaikan bahwa posisi masnya ini lemah," sambungnya.
Di sisi lain, Ira sapaan akrab Dwi Syafiera Putri menjelaskan, posisinya dengan sang suami saat berada di salah satu ruangan Subdit Gakkum.
"Kami dipertemukan, maksudnya Polisi mempertemukan antara kami dengan pelaku di Subdit Gakkum Pancoran. Kami di situ sudah membawa bu Gita (Paulina, kuasa hukum) dan teman-temannya lima orang," ujarnya.
"Tapi, apa yang terjadi di sana, kami dipisahkan antara bu Gita dan kami berdua. Jadi di dalam ruangan itu, menurut saya yang memang merasakan kejadian itu kami serasa disidang," lanjut dia.
Saat di ruangan tersebut, Ira menyebut ada beberapa petinggi polisi, tetapi tak dijelaskannya siapa mereka.
"Mohon maaf, saya harus menyebutkan itu, meminta kami untuk berdamai. 'Udah, bu, damai aja. Karena posisi anak ibu sangat lemah'. Saya bilang 'kenapa?' Saya bilang gitu. Posisi anak saya meninggal dunia, kenapa jadi yang lemah," kata dia.
Ia bahkan mempertanyakan keberadaan atau status terduga pelaku yang diduga menabrak anaknya itu.
"Gimana dengan si pelaku yang nabrak ini? Mereka semua, saya sih nggak bilang diintimidasi, ya. Tapi saya bilang seperti disidang kita berdua," ucap Ira.
Kuasa hukum keluarga Muhammad Hasya Atallah Saputra, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tewas diduga ditabrak pensiunan Polisi, sebelumnya meminta pelaksanaan penyidikan dan penyelidikan kasus kecelakaan tersebut sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).
"Kami prinsipnya cuma satu, dilakukan SOP yang ada," ujar Gita Paulina, kuasa hukum keluarga Hasya, saat konferensi pers di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (27/1/2023).
Menurut dia, pihak-pihak terkait mesti diperiksa atas insiden kecelakaan itu agar kasus tersebut terang benderang.
Bahkan jika diperlukan sampai tingkat pengadilan guna memutuskan siapa yang bersalah dalam kecelakaan itu.
"Apabila memang ada pihak-pihak yang harus mempertanggungjawabkan, ya harus diperiksa," kata Gita.
"Biarkan pengadilan yang akan memutuskan apakah perkara ini cukup untuk memberikan hukuman kepada pelaku, seperti itu," sambungnya.
Pihaknya bahkan mempertanyakan status Hasya yang menjadi tersangka, tapi tidak ada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
"Ini kan saya sudah ceritakan kan, bagaimana ada orang ditetapkan sebagai tersangka, tapi SPDP-nya saja nggak ada," tuturnya.
Sumber: wartakota