OLEH: MOCH EKSAN*
PEMBERIAN bantuan rehab Rumah Tak Layak Huni (RTLH) terhadap 50 kader PDI Perjuangan menimbulkan polemik. Ini dipicu oleh pernyataan Ganjar Pranowo yang tak sedari awal menyatakan bahwa bantuan itu bersumber dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Jawa Tengah. Apalagi, bantuan ini dikaitkan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) PDI Perjuangan ke-50.
Tindakan Gubernur Jawa Tengah dua periode ini menuai banyak kritik. Tidak boleh bantuan BAZNAS demi kepentingan politik praktis. Distribusi Zakat, Infaq dan Sadekah (ZIS) semata berdasarkan pertimbangan syar'i dan mashlahah 'ammah.
Tampaknya, Ganjar kali ini teledor dalam memberikan bantuan RTLH. Program ini sebenarnya sudah lazim dilakukan Pemrov Jateng. Bahwa selama kepemimpinan Gubernur Rambut Putih dan wajah berkerut ini, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman Jateng, Arief Djatmiko, telah mengklaim berhasil membangun 1.041.894 unit RTLH satu wilayah provinsi.
Klaim Kepala Disperakim di atas menimbulkan pertanyaan lanjutan. Mengapa Ketua Ranting Kapencar, Keretek, Wonosobo, Sumarwan dan kawan-kawan seperjuangan baru diingat jelang akhir jabatan dan dekat dengan hajatan pemilu serentak? Apakah ini ada kaitannya dengan sikap Ketua DPD PDI Perjuangan Jateng, Bambang Pacul yang menentang pencapresan Ganjar? Wallahu a'lam.
Kritik Wakil Ketua Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari PDI Perjuangan Ahmad Basarah, juga menohok Ganjar. Semestinya, ia sudah tahu mana yang boleh dan mana yang tak boleh dalam program RTLH. Juga, seharusnya, ia mengerti sumber dana mana yang boleh dan mana yang tidak boleh digunakan untuk membantu pembangunan rumah rakyat miskin yang jumlahnya masih besar di Jateng.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa di Jateng rumah yang layak huni sebesar 67,01 persen. Sisanya, 32,9 persen berarti masuk RTLH. Pemerintah berkewajiban untuk membangun RTLH. Biaya program ini bisa bersumber dari APBN, APBD Propinsi, APBD Kabupaten/Kota, CSR BUMN/BUMD dan perusahaan swasta, atau BAZNAS.
Sebagaimana jamak dilakukan di propinsi lain, penggunaan dana BAZNAS lazim untuk pembangunan RTLH. Yang problematik dari Ganjar adalah bantuan RTLH di bingkai dalam rangkaian HUT PDI Perjuangan.
Padahal, Ganjar pasti tahu, bahwa komisioner BASNAZ dilarang dari anggota partai politik agar pengelolaan ZIS steril dari kepentingan politik praktis, seperti dalam ketentuan Pasal 11 huruf g UU 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat.
UU Pengelolaan Zakat ini lahir di era Ganjar waktu menjadi anggota DPR RI periode kedua dari PDI Perjuangan. Namun, barangkali ia sedang tak sefrekwensi dengan spirit dan rumusan norma pada regulasi syariat Islam dalam UU. Apalagi, ia bukan komisi yang membidanginya. Ia tercatat sebagai anggota Komisi II yang mengawasi bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara, Reformasi Birokrasi, Pemilu, Pertanahan, dan Reformasi Agraria.
Sesungguhnya, UU Pengelolaan Zakat ini merupakan wujud kelanjutan dari pelaksanaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Dimana Sila Pertama Pancasila berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Memang, tujuh kata dalam rumusan Sila Pertama Pancasila tersebut dihapus sebagai bentuk kompromi antara kelompok Islam dan nasionalis. Tapi spirit Piagam Jakarta tetap terkadung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga, syariat Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Dan sebagian norma-normanya sudah menjadi hukum positif berlaku di seluruh tanah air.
Setelah lebih satu dekade UU Pengelolaan Zakat, semua menyadari, betapa zakat merupakan sumber ekonomi nasional untuk mengentaskan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ketua BAZNAS, Noor Ahmad menyebutkan bahwa potensi zakat nasional bisa tembus di Rp 327 triliun per tahun.
Memang, potensi ini masih belum tergali dengan maksimal. Tapi tiap tahun ada kenaikan dari Rp 17 triliun pada 2021 menjadi Rp 26 triliun pada 2022. Ini adalah bukti bahwa ada peningkatan kesadaran para muzaki untuk membayarkan zakat penghasilan, perdagangan, jasa pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, pertambangan dan lain sebagainya.
Jadi, polemik RTLH BAZNAS Ganjar menjadi pembelajaran bahwa para netizen merupakan warga bangsa yang menjalani sosial kontrol terhadap potensi abuse of power dari penguasa. Mereka sangat jeli terhadap perkataan, sikap dan tindakan pejabat. Apalagi, sang penjabat acapkali diendorse oleh Presiden berkuasa sekarang sebagai pengganti pada Pilpres 2024 mendatang.
Ganjar harus bersyukur, banyak mengingatkan agar tetap lurus dan tak serong pada kepentingan politik praktis. Para kader calon penerima bantuan bisa jadi kecewa, tapi ia bertekad untuk mengeluarkan kocek dari kantongnya sendiri.
Kasus ini jadi pembelajaran. ZIS adalah dana umat. Suatu sumber dana yang sudah semestinya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat.
*(Penulis adalah Pendiri Eksan Institute)