GELORA.CO -Jelang akhir masa jabatannya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap melakukan penyimpangan.
Demikian ditegaskan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, Senin (2/1/2023).
Presiden Jokowi dianggap menyimpang karena menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) pada 30 Desember 2022.
Menurut Jumhur, UU Ciptaker ini merupakan akal-akalan oligarki dan akan berdampak buruk bagi para kaum buruh.
"Perppu tentang UU Cipta Kerja adalah akal-akalan oligarki agar substansi UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun segera bisa dijalankan tanpa perlu memberi kesempatan pada rakyat untuk berpartisipasi," katanya, Senin (2/1/2023).
Menurut mantan aktivis itu, terbitnya UU Ciptaker membuat Indonesia bukanlah lagi negara hukum melainkan negara yang memerintah berdasarkan hukum sehingga menurutnya, Perppu ini wajib ditolak oleh para kaum buruh.
"Ini bukan negara rule of law, tapi rule by law di mana aturan hukumnya dibuat dengan cara barbarian," kata Jumhur.
"Perppu itu bagi kaum buruh akan lebih buruk dan karenanya wajib ditolak," tambahnya.
Presiden Jokowi mengklaim keadaan dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Situasi Indonesia, kata Jokowi, yang terlihat normal saat ini sebenarnya masih diliputi ancaman-ancaman ketidakpastian global.
Oleh sebab itu, pemerintah berdalih menerbitkan Perppu Ciptaker yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ancaman-ancaman risiko ketidakpastian itulah yang menyebabkan kita mengeluarkan Perppu, karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum, yang dalam persepsi para investor baik dalam maupun luar," ucap Jokowi.
"Itu yang paling penting, karena ekonomi kita ini di 2023 akan sangat bergantung pada investasi dan ekspor," imbuhnya.
"Karena berpotensi mengganggu, merusak serta merugikan kehidupan bernegara yang demokratis dan mencederai ketundukan pada hirarki perundang-undangan di negeri ini," kata Ledia.
Anggota Badan Legislasi DPR RI ini menjelaskan lebih lanjut bahwa ketika Undang-Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021, dalam keputusannya MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan
“Jadi MK secara lugas memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan pada Undang-Undang Cipta Kerja ini dengan tenggat hingga November 2023," ucapnya.
"Namun, bukannya melaksanakan amanah perintah perbaikan Undang-Undang tersebut bersama DPR, Presiden Jokowi malah menerbitkan produk hukum baru berupa Perppu. Yang diamanahkan apa, yang dikerjakan apa," imbuhnya.
Adapun Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Langkah presiden itu menurut Ledia juga menunjukkan betapa pemerintah itu malas, menggampangkan pelanggaran terhadap hirarki perundang-undangan sekaligus melecehkan DPR.
“Pemerintah masih punya waktu satu tahun untuk melaksanakan perintah MK memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja. Melibatkan publik dan membahasnya bersama DPR, tetapi yang dipilih secara sadar justru menerbitkan Perppu, yang berarti mengabaikan perlunya pelibatan publik, abai pada ketundukan pada hirarki perundang-undangan dan melecehkan DPR yang menurut UUD NRI 1945 pasal 20 ayat 1 dan 2 memiliki kuasa membentuk Undang-Undang bersama Presiden," ujarnya.
Ledia tidak menafikan bahwa Presiden memiliki hak prerogeratif menerbitkan Perppu.
Namun, tegas aleg dapil Kota Bandung Kota Cimahi ini lagi, syarat kehadiran Perppu No 2 Tahun 2022 ini tidak kuat dan terlalu dipaksakan.
“Salah satu syarat kehadiran Perppu adalah kegentingan yang memaksa dan ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa. Mana situasi genting yang kita hadapi? Mana ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa? Yang ada justru keputusan pemaksaan dari Presiden yang mencederai kehidupan demokratis," ucapnya.
Alasan kegentingan terkait ancaman resesi global, peningkatan inflasi, hingga ancaman stagflasi yang bahkan dikaitkan pula dengan perang Rusia-Ukraina menurut Ledia terlalu berlebihan.
“Pemerintah sendiri yang mengingatkan kita betapa Indonesia tetap siap menghadapi krisis ekonomi global mengingat pertumbuhan ekonomi masih berada pada angka positip, 5 persen. Kita masih punya harapan positip menghadapi tahun-tahun mendatang, sehingga penerbitan Perppu ini sekali lagi tidak memiliki cukup kuat alasan kecuali sekedar memuaskan kemauan para pengusaha," tandasnya.
Sumber: Wartakota